Kamis, 23 Desember 2010

Pembelajaran Monyet

Anda mungkin pernah melihat atraksi ronggeng monyet atau topeng monyet, dimana seekor monyet dapat memperagakan berjalan tegak sambil membawa payung-payungan, memikul bakul-bakulan, mengendarai sepeda-sepedaan, dan berbagai atraksi lainnya.
Topeng Monyet
Atraksi ini pada umumnya berlangsung di bawah kendali sang Pawang, dengan diiringi bunyi gamelan sederhana. Setelah adegan selesai, para penonton merasa terhibur dan langsung  memberikan saweran sukarela, sebagai balas jasa atau tanda terima kasih atas atraksi yang telah disuguhkan oleh sang  Pawang dengan monyetnya.
Kemampuan monyet untuk dapat memperagakan adegan seperti ilustrasi di atas tentu bukan diperoleh secara tiba-tiba, tetapi pada dasarnya merupakan hasil belajar, melalui sentuhan  Sang Pawang dengan menggunakan teori belajar behaviorisme. Walaupun mungkin sang Pawang sendiri tidak pernah paham apa itu itu teori belajar behaviorisme,  tetapi tampaknya dia telah berhasil menerapkan teori belajar behavioristik secara sempurna dalam membentuk kompetensi dan perilaku baru monyet.
Sedikit saya beri gambaran bagaimana proses pembelajaran monyet untuk bisa mendapatkan kemampuan atau kompetensi di atas.  Pada mulanya, mungkin monyet itu merupakan hasil tangkapan dari hutan, tentu dengan kemampuan awal layaknya seekor monyet liar. Selanjutnya, dia dibawa ke lingkungan manusia, dengan diberi asrama  yang bernama kandang. Di bawah program pelatihan sang Pawang, monyet mengikuti berbagai kegiatan pembelajaran. Metode pembelajaran yang dilakukan sang Pawang yaitu pemberian latihan yang terus-menerus dengan bertumpu pada dua kekuatan utama, yaitu pemberian hadiah dan hukuman.
Untuk bisa berjalan tegak, sang Pawang mengikat tangan monyet ke belakang pundaknya. Jika monyet berhasil berdiri tegak sesuai dengan instruksi,  sang Pawang langsung memberikan hadiah berupa makanan yang disukai monyet, misalnya  buah pisang,  atau  memberikan tindakan-tindakan lainnya yang membuat monyet senang.  Tetapi jika gagal, sang Pawang langsung memberikan hukuman, misalnya dengan menarik rantai atau tali yang membelenggu di lehernya.  Jika masih tetap membandel, sang Pawang pun tidak segan-segan memberi sanksi lain untuk memaksanya hingga  bisa berdiri tegak.
Pola pembelajaran seperti ini terus-menerus dilakukan untuk memperoleh kompetensi-kompetensi baru lainnya, seperti: memikul bakul-bakulan, membawa payung-payungan, bercermin, dan sebagainya. Bahkan dia dilatih pula untuk melakukan atraksi kolabarasi dengan anjing  Bersamaan dengan berlangsungnya proses pembelajaran ini, sang Monyet diperdengarkan alunan gamelan oleh sang Pawang,  dengan tujuan  agar dia bisa menampilkan gerakan-gerakan yang dilatihkan,  seiring dengan  irama gamelan yang diperdengarkannya.
Setelah selesai mengikuti program pelatihan yang dikembangkan oleh sang Pawang dan monyet sudah dianggap kompeten, mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal  yang ditetapkan sang Pawang, selanjutnya monyet diajak memasuki dunia baru,  yang sangat jauh berbeda dengan dunia sebelum  dia mengikuti  kegiatan  pembelajaran bersama sang Pawang.
Saat ini dia bukan lagi monyet seperti rekan-rekannya yang hidup di hutan bebas. Dia tidak lagi hidup bergelantungan dari pohon ke pohon, tetapi dia bergerak dari satu kampung ke kampung lainnya, mempertontonkan keahlian yang diperolehnya dari sang Pawang. Dia tidak lagi bercengkerama dengan keluarga dan sesamanya, tetapi dia lebih banyak bergaul dengan manusia.  Dia tidak perlu lagi bersusah mencari makanan sendiri, tetapi cukup menunggu jatah yang diberikan sang Pawang. Sang Pawang pun dalam memberi makanan  akan bergantung pada hasil jerih payahnya  keliling kampung bersama monyet kesayangannya.
Yang menjadi pertanyaan,  dengan aneka kemampuan yang didapat dari sang Pawang, Apakah  sesungguhnya  monyet itu bahagia? Masih pantaskah kita menyebutnya sebagai monyet? Bagaimana pula  pendidikan yang sesuai untuk  manusia?   Silahkan Anda renungkan dan mari kita diskusikan melalui forum komentar yang ada.

Wadaslintang, 24 Des 2010

Minggu, 12 Desember 2010

Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar Permendiknas No. 15 Tahun 2010 – Standar

Untuk menjamin tercapainya mutu pendidikan yang diselenggarakan daerah, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar, yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010.
Pernendiknas No. 15 Tahun 2010 - Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar
Standar pelayanan minimal pendidikan dasar  (SPM) merupakan tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar,  sekaligus  sebagai acuan dalam perencanaan program dan penganggaran pencapaian target masing-masing daerah kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar merupakan kewenangan kabupaten/kota. di dalamnya mencakup: (a) pelayanan pendidikan dasar oleh kabupaten/kota dan; (b)  pelayanan pendidikan dasar oleh satuan pendidikan:
A. Pelayanan Pendidikan Dasar oleh Kabupaten/Kota:
  1. Tersedia satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs dari kelompok permukiman permanen di daerah terpencil;
  2. Jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar untuk SD/MI tidak melebihi 32 orang, dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 orang. Untuk setiap rombongan belajar tersedia 1 (satu) ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk peserta didik dan guru, serta papan tulis;
  3. Di setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan eksperimen peserta didik;
  4. Di setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedia satu ruang guru yang dilengkapi dengan meja dan kursi untuk setiap orang guru, kepala sekolah dan staf kependidikan lainnya; dan di setiap SMP/MTs tersedia ruang kepala sekolah yang terpisah dari ruang guru.
  5. Di setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang guru setiap satuan pendidikan;
  6. Di setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran;
  7. Di setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik;
  8. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV sebanyak 70% dan separuh diantaranya (35% dari keseluruhan guru) telah memiliki sertifikat pendidik, untuk daerah khusus masing-masing sebanyak 40% dan 20%;
  9. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik masing-masing satu orang untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris;
  10. Di setiap Kabupaten/Kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
  11. Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
  12. Di setiap kabupaten/kota semua pengawas sekolah dan madrasah memiliki kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
  13. Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif; dan
  14. Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap bulan dan setiap kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan.
B . Pelayanan Pendidikan Dasar oleh Satuan Pendidikan:
  1. Setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik;
  2. Setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk setiap perserta didik;
  3. Setiap SD/MI menyediakan satu set peraga IPA dan bahan yang terdiri dari model kerangka manusia, model tubuh manusia, bola dunia (globe), contoh peralatan optik, kit IPA untuk eksperimen dasar, dan poster/carta IPA;
  4. Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi, dan setiap SMP/MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 buku referensi;
  5. Setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di satuan pendidikan, termasuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing atau melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan;
  6. Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34 minggu per tahun dengan kegiatan tatap muka sebagai berikut : (a) Kelas I – II : 18 jam per minggu; (b) Kelas III : 24 jam per minggu; (c) Kelas IV – VI : 27 jam per minggu; atau  (d) Kelas VII – IX : 27 jam per minggu;
  7. Satuan pendidikan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sesuai ketentuan yang berlaku;
  8. Setiap guru menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan silabus untuk setiap mata pelajaran yang diampunya;
  9. Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik;
  10. Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan balik kepada guru dua kali dalam setiap semester;
  11. Setiap guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta hasil penilaian setiap peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir semester dalam bentuk laporan hasil prestasi belajar peserta didik;
  12. Kepala sekolah atau madrasah menyampaikan laporan hasil ulangan akhir semester (UAS) dan Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) serta ujian akhir (US/UN) kepada orang tua peserta didik dan menyampaikan rekapitulasinya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota pada setiap akhir semester; dan
  13. Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS).
Selain jenis pelayanan pendidikan di atas,  di kabupaten/kota tertentu wajib menyelenggarakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan, karakteristik, dan potensi daerah.
_________________________________________________________
Jika Anda ingin melihat isi Permendiknas ini selengkapnya, silahkan klik tautan di bawah ini
Melalui ruang komentar yang tersedia, mari kita diskusikan kemungkinan-kemungkinan implemetasinya di lapangan!


Wadaslintang, 12 Des 2010

Jumat, 03 Desember 2010

KUATKAH AKU

I
Anda disebut kuat bukan karena badan Anda kuat, tetapi karena hati Anda yang sedang dikecilkan dan bersedih itu, …tetap bertahan dan menyabarkan diri.
Apapun yang terjadi kepada Anda, akan tetap menjadi sesuatu yang menguatkan Anda, jika Anda tidak mengijinkannya untuk melemahkan Anda.
Tidak ada orang bisa disebut lemah, selama dia bisa memilih.
Pilihlah untuk menjadi jiwa yang sabar dan berbahagia.
II
Orang yang semena-mena tidak harus orang besar, kaya, dan berkuasa.
Orang yang sangat kita kasihi …tapi yang bicara sembarangan, menyepelekan pendapat dan mengabaikan harapan kita, dan melukai kerinduan kita untuk merasa diutamakan, adalah orang yang paling kejam.
Tidak ada siksaan dari manusia yang lebih pedih daripada kesemena-menaan orang yang kita kasihi.
Bersabarlah
Tuhan menyelamatkan hati yang sabar
Aamiin
IV
Rencana Anda bukanlah perilaku yang mendahului kehendak Tuhan.
Keyakinan bahwa Anda PASTI ……berhasil melaksanakan rencana- rencana Anda, itulah perilaku yang mendahului kehendak Tuhan. Dan Anda akan diperingatkan untuk memperbaiki sikap.
Tuhan menghendaki agar kita hidup dalam keteraturan, dan menghormati waktu; karena waktu adalah komponen pembentuk hidup kita.
Time is life, more than just money.
II
Alexander The Great, Genghis Khan, dan Patih Gajah Mada tidak mungkin mencapai kebesaran mereka dalam sejarah, dengan menganggap ringan …diri mereka sendiri.
Mereka adalah justru orang-orang pertama yang sangat menghormati diri mereka sendiri.
Hormatilah diri Anda sendiri.
Kebesaran yang mungkin Anda capai sangat bergantung kepada berapa besar hormat yang Anda berikan kepada diri Anda sendiri.

Wadaslintang, 4 Des 2010

Rabu, 24 November 2010

Permendiknas No. 28 Tahun 2010 – Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah

Pada tahun 2007 lalu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah meluncurkan Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, di dalamnya mengatur tentang persyaratan kualifikasi dan kompetensi yang seyogyanya dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Kehadiran peraturan ini tampaknya bisa dipandang sebagai moment penting,  serta memuat pesan dan amanat penting,  bahwa sekolah harus dipimpin oleh  orang yang benar-benar kompeten, baik dalam aspek kepribadian,  sosial, manajerial, kewirausahaan, maupun supervisi.
[Permendiknas No. 28 Tahun 2010] Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah
Dalam rangka  menata dan mereformasi kepemimpinan pendidikan di sekolah, sekaligus melengkapi peraturan sebelumnya-khususnya Permendiknas No. 13 Tahun 2007- yang terkait dengan kekepalasekolahan (principalship),  kini pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional menghadirkan kembali regulasi baru yaitu: Permendiknas No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Peraturan ini terdiri dari  10 Bab dan 20 Pasal, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
  • Bab I  Ketentuan Umum
  • Bab II  Syarat-Syarat Guru yang Diberi Tugas Tambahan Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah
  • Bab III  Penyiapan Calon Kepala Sekolah/Madrasah
  • Bab IV Proses Pengangkatan Kepala Sekolah/Madrasah
  • Bab V Masa Tugas
  • Bab VI  Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
  • Bab VII Penilaian Kinerja Kepala Sekolah/Madrasah
  • Bab VIII Mutasi dan Pemberhentian Tugas Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah
  • Bab IX  Ketentuan Peralihan
  • Bab X Ketentuan Penutup
Terdapat beberapa catatan penting saya dari  isi  peraturan ini, yakni :
Catatan 1:
Persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah yaitu memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal. (Pasal 2 Ayat 3 point b).
Penyiapan calon kepala sekolah/madrasah meliputi rekrutmen serta  pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah. (Pasal 3 Ayat 1)
Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka dalam kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan. (Pasal 7 Ayat 2)
Dalam pandangan manajemen, sertifikat bisa dianggap sebagai bukti formal atas kelayakan dan kewenangan  seseorang untuk memangku jabatan tertentu. Belakangan ini (terutama setelah diberlakukannya Otonomi Daerah), kerapkali ditemukan kasus rekrutmen kepala sekolah  tanpa disertai Sertifikat Kepala Sekolah, dan kegiatan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah.
Jika seorang guru direkrut tanpa sertifikat dan diklat alias melalui proses  sim salabim seperti dalam atraksi sulap, barangkali tidak salah jika ada sebagian orang yang mempertanyakan akan kewenangan dan kelayakan yang bersangkutan. Dengan adanya ketentuan ini,  maka ke depannya diharapkan tidak terjadi lagi kasus-kasus seperti  ini sehingga  sekolah benar-benar  dapat dipimpin oleh orang yang layak dan teruji.
Catatan 2:
Calon kepala sekolah/madrasah direkrut melalui pengusulan oleh kepala sekolah/madrasah dan/atau pengawas yang bersangkutan kepada dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (Pasal 4 Ayat 2)
Pengangkatan kepala sekolah/madrasah dilakukan melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah. (Pasal 9 Ayat 1). Tim pertimbangan melibatkan unsur pengawas sekolah/madrasah dan dewan pendidikan. (Pasal 9 Ayat 3)
Penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah dilakukan secara berkala setiap tahun dan secara kumulatif setiap 4 (empat) tahun. (Pasal 12 Ayat 1). Penilaian kinerja tahunan dilaksanakan oleh pengawas sekolah/madrasah. (Pasal 12 Ayat 2). Penilaian kinerja 4 (empat) tahunan dilaksanakan oleh atasan langsung dengan mempertimbangkan penilaian kinerja oleh tim penilai yang terdiri dari pengawas sekolah/madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, dan komite sekolah dimana yang bersangkutan bertugas. (Pasal 12 Ayat 3)
Pasal-pasal di atas adalah pasal yang berkenaan dengan peran pengawas sekolah. Pasal-pasal tersebut mengisyaratkan bahwa pengawas sekolah perlu dilibatkan dalam proses rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah.  Di beberapa tempat, dalam urusan  rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah, pengawas sekolah kadang hanya diposisikan sebagai “penonton” belaka.  Lebih parah lagi, malah yang dilibatkan  justru orang-orang  yang sebenarnya tidak berkepentingan langsung dengan pendidikan, biasanya hadir dalam bentuk “titipan sponsor”.
Hadirnya peraturan ini, juga membawa konsekuensi logis akan perlunya kebijakan penilaian kinerja kepala sekolah di setiap  daerah, yang di dalamnya perlu melibatkan Pengawas Sekolah. Kendati demikian, di beberapa tempat kegiatan penilaian kinerja kepala sekolah tampaknya belum bisa  dikembangkan menjadi kebijakan resmi Dinas Pendidikan setempat.
Dengan adanya niat baik pemerintah untuk meilibatkan dan memberdayakan peran pengawas sekolah sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal  yang telah disebutkan di atas, tentu harus diiringi dengan kesiapan dari para pengawas sekolah itu sendiri.
Untuk mengimbangi kebijakan baru ini sekaligus mendapatkan  kejelasan hukum tentang pengawas dan kepengawasn sekolah. Secara pribadi,  saya berharap kiranya pemerintah pun dapat segera menerbitkan Peraturan tentang Penugasan Guru sebagai Pengawas  Sekolah,  untuk melengkapi peraturan-peraturan sebelumnya, khususnya yang tertuang dalam Permendiknas No. 12  Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah.
Mari kita tunggu!

Permendiknas No 27 Tahun 2010 – Program Induksi bagi Guru Pemula

Permendiknas No 27 Tahun 2010-Program Induksi bagi Guru PemulaSejak kurang lebih satu tahun ke belakang,  Program Induksi bagi Guru Pemula telah menjadi wacana publik, –khususnya di kalangan praktisi pendidikan.   Dari berbagai wacana yang berkembang, di antaranya sempat muncul  pertanyaaan, benarkah  program induksi ini akan diberlakukan di Indonesia? Akhirnya, pertanyaan itu terjawab juga, terhitung tanggal 27 Oktober 2010,  pemerintah melalui Mendiknas telah meluncurkan  regulasi baru yang dituangkan dalam Permendiknas No 27 Tahun 2010 tentang Program Induksi bagi Guru Pemula.  Peraturan ini  menjadi payung hukum resmi tentang penyelenggaraan Program Induksi bagi Guru Pemula di Indonesia.  Peraturan ini terdiri dari 14 pasal, di dalamnya  antara lain mengatur tentang: tujuan, prinsip dan teknis pelaksanaan penyelenggaraan  Program Induksi secara umum.


Kehadiran program induksi ini tampaknya semakin mempertegas komitmen pemerintah untuk menata profesi guru, karena saat ini guru telah diyakini sebagai tumpuan harapan  utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Melalui proses pembimbingan selama mengikuti program induksi ini,  diharapkan  sejak awal para guru  sudah mampu membiasakan diri  bekerja secara profesional. Hasil selama mengikuti program induksi  tentu akan menjadi bekal penting bagi guru yang bersangkutan dalam menekuni pekerjaannya pada masa-masa selanjutnya, yakni menjadi seorang guru yang profesional.
Jika disimak isi peraturan ini,  tampaknya kesuksesan program induksi ini, selain ditentukan oleh guru pemula yang bersangkutan,  juga akan bergantung pada peran dari tiga pihak lainnya  yang terlibat dalam program induksi,  yaitu: 
(1) pembimbing,  guru profesional yang diberi tugas untuk membimbing guru pemula; (
2) kepala sekolah,  selaku atasan guru pemula yang bertugas memfasilitasi agar program induksi dapat terselenggara dengan baik, dan 
(3) pengawas sekolah yang bertugas membimbing dan menilai kinerja guru pemula.
Hal yang perlu digarisbawahi, bahwa selama program induksi berlangsung, jangan sampai muncul praktik perpeloncoan, baik  yang dilakukan oleh pembimbing atau warga sekolah lainnya.  Program induksi justru dimaksudkan untuk melindungi para guru pemula dari berbagai praktik perpeloncoan yang dapat merusak mental guru pemula. Selama ini, meski  tidak secara terbuka, tampaknya praktik perpeloncoan terhadap para anggota  (guru dan siswa)  baru di sekolah  kadang masih  mewarnai pendidikan kita. Misalnya, diisolisasi dari kelompok atau  malah dibombardir  dengan tugas-tugas tambahan yang sangat membebani dan di luar kewajaran.

Mari kita induksi para guru pemula agar mereka menjadi matang dan profesional,  yang siap menggantikan para seniornya untuk melahirkan generasi  baru yang hebat.

Minggu, 14 November 2010

Sumber-Sumber yang Mempengaruhi Teknologi Pembelajaran

Teknologi pembelajaran dapat dilihat sebagai bidang yang mempunyai perhatian khusus terhadap aplikasi, meskipun prinsip dan prosedurnya berdasar pada teori. Kawasan bidang ini telah melalui pergulatan antara pengaruh nilai, penelitian,dan pengalaman praktisi, khususnya pengalaman dengan teknologi yang digunakan dalam pembelajaran.
Bidang ini kemudian berkembang tidak hanya berupa pengetahuan teoritik tetapi juga pengetahuan praktis.
Setiap kawasan dibentuk oleh : (1) landasan penelitian dan teori; (2) nilai dan perspektif yang berlaku; (3) kemampuan teknologi itu sendiri.
1. Pengaruh Teori dan Penelitian
Teknologi Pembelajaran telah dipengaruhi oleh teori dari berbagai bidang kajian. Akar teori ini dapat ditemui dalam berbagai disiplin, termasuk : psikologi, rekayasa, komunikasi, ilmu komputer, bisnis, dan pendidikan secara umum.
Secara singkat, pengaruh teori dan penelitian terhadap masing-masing kawasan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Desain
Teori sistem umum diterapkan melalui aplikasi model-model perancangan sistem pembelajaran, terutama dengan didukung logika deduktif, penilaian praktek dan pengalaman yang sukses. Hasil-hasil penelitian yang ada tentang desain sistematik dapat mendukung terhadap komponen-komponen proses perancangan.
Penelitian dan teori psikologi yang berkembang pun telah memberikan kontribusi terhadap perancangan, baik yang dikembangkan oleh kelompok aliran psikologi behaviorisme, maupun kognitivisme dan konstruktivisme. Selain itu, sumbangsih teori dan penelitian psikologi tentang motivasi juga berpengaruh terhadap proses perancangan.
Teori dan penelitian tentang Belajar-Mengajar memiliki pengaruh terhadap desain, baik dalam penentuan tugas-tugas belajar, penentuan tujuan pembelajaran, pemilihan metode dan media pembelajaran, penentuan materi pembelajaran dan sebagainya.
Teori komunikasi dan penelitian tentang pesepsi-atensi telah memberikan pengaruh terhadap proses perancangan, seperti dalam tata letak, halaman, desain layar, desain grafis visual. Studi yang dilakukan Flemming (1987) menyimpulkan tentang karakteristik-karakteristik persepsi yang relevan untuk perancangan, meliputi : pengorganisasian, perbandingan dan kontras, warna kemiripan, nilai dan informasi yang disajikan.
b. Pengembangan
Proses pengembangan bergantung pada prosedur desain, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat komunikasi dan proses belajar. Pada kawasan pengembangan tidak hanya dipengaruhi oleh teori komunikasi semata, tetapi juga oleh teori pemrosesan visual-audial, berfikir visual, dan estetika.
Teori Shannon dan Weaver (1949) tentang proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan sarana sensorik. Berikutnya, pemikiran Belo tentang Model SMCR (Sender, Massage, Channel, Receiver), dan beberapa teori lainnya dalam bidang komunikasi secara umum telah menjadi landasan dalam proses pengembangan.
Proses pengembangan juga telah dipengaruhi oleh teori berfikir visual, belajar visual dan komunikasi visual. Teori berfikir visual sangat berguna terutama dalam mencari ide untuk perlakuan berfikir visual. Menurut Seels (1993) bahwa berfikir visual merupakan manipulasi bayangan mental dan asosiasi sensor dan emosi. Arnhem (1972) menjelaskan berfikir visual sebagai fikiran kiasan dan di bawah sadar. Berfikir visual menuntut kemampuan mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, atau komposisi..
Sementara itu, prinsip-prinsip estetika juga menjadi landasan dalam proses pengembangan. Molenda dan Russel (1993) mengidentifikasi unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan visual, yaitu : pengaturan, keseimbangan dan kesatuan.
Teori dan penelitian dalam bidang komputer yang dikombinasikan dengan teori-teori lainnya, khususnya dengan teori pembelajaran telah memungkinkan lahirnya berbagai bentuk pembelajaran, seperti pembelajaran jarak jauh yang di dalamnya memerlukan prinsip-prinsip komunikasi umum, prinsip-prinsip desain grafis, prinsip-prinsip belajar interaktif dan teknologi elektronik yang canggih.
c. Pemanfaatan
Pada mulanya gagasan tentang pemanfaatan media lebih berkonotasi pada aspek-aspek penggunaan, sehingga teori dan penelitian lebih dipusatkan pada hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan media, terutama mengkaji tentang masalah-masalah seputar penggunaan media secara optimal, kemudian berkembang dengan mencakup pada upaya difusi, karena bagaimana pun disadari bahwa pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada proses difusi. Rogers (1962) mengeksplorasi tentang gejala difusi inovasi. Menurut Rogers, terdapat empat elemen utama yang beroperasi dalam proses difusi, yaitu : (1) bentuk atau karakter inovasi itu sendiri, (2) saluran komunikasi yang ada, (3) waktu, dan (4) sistem sosial yang berlaku. Studi Havelock (1971) tentang model pengembangan dan penyebaran dan interaksi sosial, lebih menekankan pada usaha-usaha menghubungkan para pemakai dengan sumber pengetahuan baru. Studi Lazarfield (1944) mengungkapkan tentang informasi yang sampai kepada para tokoh yang berpengaruh (opnion leaders), yang pada awalnya berupa transfer informasi sederhana, kemudian informasi itu diteruskan kepada para pengikutnya.
Dari berbagai pengalaman kegagalan inovasi teknologi pada skala besar, telah mendorong perlunya perencanaan dan perubahan keorganisasian, administratif dan individu (Cuban, 1986). Sekarang ini muncul perkembangan pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara organisasi beradaptasi dengan tantangan masyarakat modern, dengan segala sistem pemasaran yang baru, teknologi baru dan tuntutan perubahan yang terus menerus, sehingga pada akhirnya menggiring pemanfaatan sebagai implementasi dan institusionalisasi.
d. Pengelolaan
Persoalan-persoalan pengelolaan dalam bidang Teknologi Pembelajaran muncul akibat pengaruh aliran perilaku dan berfikir sistematik behaviorisme serta aspek humanisme dalam komunikasi, motivasi, dan produktivitas. Metodologi dan teori pengelolaan telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang pengelolaan sumber dan proyek, termasuk pengelolaan perubahan. Sebagian besar prinsip-prinsip pengelolaan berasal dari manajemen/administrasi bisnis, seperti dalam pengelolaan proyek, pengelolaan sumber dan efektivitas pembiayaan.
Pengelolaan proyek sebagai suatu konsep, pada awalnya diperkenalkan sebagai “cara yang efisien dan efektif dalam menghimpun suatu tim, dimana pengetahuan dan keahlian anggotanya sesuai dengan siatuasi unik dan tuntutan teknis jangka pendek yang ditentukan oleh pemberi kerja”(Rothwell dan Kazanas, 1992).
Pengelolaan sumber telah lama menjadi masalah utama bagi guru dan petugas perpustakaan media karena keduanya diharapkan sebagai manajer sumber belajar. Sekarang ini konsep sumber lebih mengacu pada pengertian sumber belajar yang lebih luas dan bukan sekedar diartikan sebagai sarana audio-visual, melainkan mencakup pula barang cetak, lingkungan dan nara sumber (Eraut, 1989)
Akhir-akhir ini mulai tumbuh perhatian mengenai efektivitas pembiayaan, sehingga kerangka teori ekonomi pun mulai digunakan dalam teknologi pembelajaran, seperti penggunaan teori ekonomi pengelolaan sumber yang dikembangkan oleh Henderson dan Quandt (1980).
Kelanjutan dari pengelolaan sumber ini adalan pengelolaan sistem penyampaian, yang berkaitan dengan sarana, seperti perangkat lunak dan keras, dukungan teknis untuk operator dan pemakai, serta karakteristik lain tentang pengoperasian sistem teknologi. Ini merupakan era baru praktek mendahului analisis teoritik tentang model.
Komponen terakhir dari masalah pengelolaan adalah pengelolaan informasi. Teori informasi melahirkan suatu landasan yang dapat digunakan untuk memahami dan memprogram komputer. Hal ini berhubungan dengan perancangan dan penggunaan jaringan komputer untuk tranmisi, penerimaan dan penyimpanan informasi. Penerapan teori informasi ini jangkauannya semakin luas, dengan mencakup berbagai bidang kehidupan.
e. Penilaian
Analisis, asesmen dan penilaian memainkan peranan penting dalam proses desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Pada awalnya, penilaian sering dihubungkan dengan orientasi behavioristik. Tumbuhnya desain pembelajaran yang beorientasi pada tujuan (tercapainya perubahan perilaku), sehingga memunculkan pengujian dengan menggunakan acuan patokan. Hal ini terjadi pula dalam analisis kebutuhan atau analisis masalah.
Dengan masuknya pandangan kognitivisme dan konstruktivisme dalam desain pembelajaran, telah membawa implikasi terhadap proses analisis kebutuhan dengan cakupan yang lebih luas, yang tidak hanya berfokus pada isi semata, tetapi juga memberikan perhatian pada analisis pembelajar, analisis organisasi dan analisis lingkungan (Richey, 1992; Tessmer dan Harris, 1992). Penilaian dengan paradigma kognitif lebih banyak diorientasikan untuk kepentingan fungsi diagnostik.
2. Nilai dan Perspektif Alternatif
Pada umumya nilai-nilai yang ada akan berfungsi sebagai landasan berfikir dan berbuat. Nilai-nilai ini mungkin berasal dari pelatihan dan pengalaman kerja yang sama, pembudayaan dari teori-teori atau karakteristik pribadi orang yang tertarik terhadap Teknologi Pembelajaran . Secara khusus, nilai-nilai yang mempengaruhi terhadap perkembangan Teknologi Pembelajaran, yaitu : (a) replikabilitas pembelajaran; (b) individualisasi; (c) efisiensi; (d) penggeneralisasian proses isi lintas; (e) perencanaan terinci; (f) analisis dan spesifikasi; (g) kekuatan visual; (h) pemanfaatan pembelajaran bermedia.
Konsep paradigma alternatif dalam menemukan pengetahuan baru-baru ini telah menjadi fokus utama dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam perpektif ilmiah, paradigma alternatif ini memiliki kecenderungan untuk menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian fenomenologis dan gerakan ke arah psikologi kontruktivis. Teknologi pembelajaran juga merasakan pengaruh ini, sebagai contoh Striebel (1991) mengemukakan pendapatnya bahwa komputer bukanlah hanya sekedar bentuk sistem penyampaian, tetapi sebagai suatu lingkungan yang memiliki nilai-nilai tertentu dengan segala kecenderungannya. Bowers (1988) juga memberikan suatu tantangan yang meragukan bahwa teknologi betul-betul bersifat netral dan dapat dibentuk untuk memenuhi segala tujuan yang diinginkan.
Gerakan psikologi konstruktivisme telah mempengaruhi terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa disamping adanya relaitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu tidak akan terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.
Konstruktivisme cenderung mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang digunakan untuk memecahkan masalah. Nampaknya, ada semacam keengganan terhadap adanya perumusan pengetahuan secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan terhadap simplikasi atau regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan arti penting konteks yang kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.
Perspektif alternatif lain yang mempengaruhi teknologi pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting atas keunggulan belajar situasional (situated learning). Belajar situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung di latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana pengetahuan dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih pada aplikasi daripada sekedar perolehan.
Gerakan teknologi kinerja yang lebih berbasis terapan (Geis, 1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam Teknologi Pembelajaran. Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori seperti cybernetic, ilmu menajemen, dan ilmu kognitif (Geis, 1986).
Para teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan masalah. Teknolog kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai intervensi.
Filsafat alternatif pun turut mewarnai terhadap perkembangan teknologi pembelajaran. Filsafat alternatif ini berkembang dari kelompok post-modernis (pasca-modern), yang telah melakukan analisis kritis terhadap berbagai landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai dalam bidang Teknologi Pembelajaran. Dalam perspektif post-modern, bahwa teknologi pembelajaran sebagai suatu kiat sekaligus sebagai ilmu. Hlynka (1991) menjelaskan bahwa post-modern adalah suatu cara berfikir yang menjunjung prinsip keanekaragaman, temporal dan kompleks, dari pada bersifat universal, stabil dan sederhana.
Banyak implikasi filsafat post-modern untuk praktek dan teori desain sekarang ini, terutama tentang orientasi pemikiran yang menggunakan paradigma desain baru, dan tidak bersandarkan pada model desain yang sistematis. Filsafat post-modern lebih menyenangi pada hal-hal yang bersifat terbuka dan fleksibel, dari pada hal-hal yang tertutup, terstruktur dan kaku (Hlynka, 1991)
3. Pengaruh Teknologi
Kekuatan teknologi pembelajaran memang terletak pada teknologi itu sendiri. Kemajuan dalam teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi pembelajaran. Teknologi telah memberikan prospek munculnya stimulus yang realistik, memberikan akses terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang cepat, menghubungkan informasi dan media dengan cepat, dan dapat menghilangkan jarak antara pengajar dan pembelajar (Hannfin, 1992). Perancang yang terampil dan kreatif dapat menghasilkan produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam : (a) mengintegrasikan media; (b) menyelenggarakan pengemdalian atas pembelajar yang jumlahnya hampir tidak terbatas, dan bahkan (c) mendesain kembali untuk kemudian disesuaikan kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap individu.
Teknologi, disamping mampu menyediakan berbagai kemungkinan tersedianya media pembelajaran yang lebih bervariasi, juga dapat mempengaruhi praktek di lapangan dengan digunakannya sarana berbasis komputer untuk menunjang tugas perancangan.
Sumber:
Barbara B. Seels dan Rita C. Richey.1995. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya, (terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk)

Sekilas tentang Disiplin Kerja

Disiplin KerjaDisiplin merupakan kata yang sering kita ketentuan berupa peraturan-peraturan yang secara eksplisit perlu juga mecakup sangsi-sangsi yang akan diterima jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Menurut Soegeng Prijodarminto (1992) bahwa disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, ketenteraman, ketearturan, dan ketertiban.
Dalam kaitannya dengan disiplin kerja, Siswanto (1989) mengemukakan disiplin kerja sebagai suatu sikap menghormati, menghargai patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak menerima sanksi-sanksi apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Sementara itu, Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, (1990) mendefinisikan disiplin sebagai suatu proses bekerja yang mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri.
Dari beberapa pengertian yang diungkapkan di atas tampak bahwa disiplin pada dasarnya merupakan tindakan manajemen untuk mendorong agar para anggota organisasi dapat memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi, yang di dalamnya mencakup: (1) adanya tata tertib atau ketentuan-ketentuan; (2) adanya kepatuhan para pengikut; dan (3) adanya sanksi bagi pelanggar
Pada bagian lain, Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, (1990) menyebutkan bahwa disiplin kerja adalah kesadaran, kemauan dan kesediaan kerja orang lain agar dapat taat dan tunduk terhadap semua peraturan dan norma yang berlaku, kesadaaran kerja adalah sikap sukarela dan merupakan panggilan akan tugas dan tanggung jawab bagi seorang karyawan. Karyawan akan mematuhi atau mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan bukan mematuhi tugasnya itu dengan paksaan. Kesediaan kerja adalah suatu sikap perilaku dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan tugas pokok sebagai seorang karyawan. Karyawan harus memiliki prinsip dan memaksimalkan potensi kerja, agar karyawan lain mengikutinya sehingga dapat menanamkan jiwa disiplin dalam bekerja.
Menurut Wayne Mondy dan Robert M. Noe (1990) disiplin adalah status pengendalian diri seseorang karyawan, sebagai tanda ketertiban dan kerapian dalam melakukan kerjasama dari sekelompok unit kerja di dalam suatu organisasi (someone status selfcontrol as orderliness sign order and accuration in doing cooperation from a group of unit work in a organization)
Jackclass (1991) membedakan disiplin dalan dua kategori, yaitu self dicipline dan social dicipline. Self dicipline merupakan disiplin pribadi karyawan yang tercermin dari pribadinya dalam melakukan tugas kerja rutin yang harus dilaksanakan, sedangkan social dicipline adalah pelaksanaan disiplin dalam organisasi secara keseluruhan.
Menurut Daniel M. Colyer. 1991), disiplin pada umumnya termasuk dalam aspek pengawasan yang sifatnya lebih keras dan tegas (hard and coherent). Dikatakan keras karena ada sanksi dan dikatakan tegas karena adanya tindakan sanksi yang harus dieksekusi bila terjadi pelanggaran.
Terdapat dua jenis disiplin dalam organisasi, yaitu : (1) disiplin preventif dan (2) disiplin korektif (Sondang P. Siagaan, 1996). Disiplin preventif adalah tindakan yang mendorong para karyawan untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan prilaku yang diinginkan dari setiap anggota organisasi, untuk mencegah jangan sampai para karyawan berperilaku negatif. Keberhasilan penerapan pendisiplinan karyawan (disiplin preventif) terletak pada disiplin pribadi para anggota organisasi. Dalam hal ini terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian manajemen di dalam penerapan disiplin pribadi, yaitu :
Triguno (2000) menyebutkan bahwa tujuan pokok dari pendisiplinan preventif adalah untuk mendorong karyawan agar memiliki disiplin pribadi yang tinggi, agar peran kepemimpinan tidak terlalu berat dengan pengawasan, yang dapat mematikan prakarsa, kreativitas serta partisipasi sumber daya manusia.
  1. Para anggota organisasi perlu didorong, agar mempunyai rasa memiliki organisasi, karena secara logika seseorang tidak akan merusak sesuatu yang menjadi miliknya.
  2. Para karyawan perlu diberi penjelasan tentang berbagai ketentuan yang wajib ditaati dan standar yang harus dipenuhi. Penjelasan dimaksudkan seyogyanya disertai oleh informasi yang lengkap mengenai latar belakang berbagai ketentuan yang bersifat normatif.
  3. Para karyawan didorong, menentukan sendiri cara-cara pendisiplinan diri dalam rangka ketentuan-ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh anggota organisasi.
Disiplin korektif adalah upaya penerapan disiplin kepada karyawan yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan dan kepadanya dikenakan sanksi secara bertahap. Horald D. Garret. (1994) menyebutkan bahwa bila dalam instruksinya seorang karyawan dari unit kelompok kerja memiliki tugas yang sudah jelas dan sudah mendengarkan masalah yang perlu dilakukan dalam tugasnya, serta pimpinan sudah mencoba untuk membantu melakukan tugasnya secara baik, dan pimpinan memberikan kebijaksanaan kritikan dalam menjalankan tugasnya, namun seseorang karyawan tersebut masih tetap gagal untuk mencapai standar kriteria tata tertib, maka sekalipun agak enggan, maka perlu untuk memaksa dengan menggunakan tindakan korektif, sesuai aturan disiplin yang berlaku.
Tindakan sanksi korektif seyogyanya dilakukan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Sayles dan Strauss menyebutkan empat tahap pemberian sanksi korektif, yaitu: (1) peringatan lisan (oral warning), (2) peringatan tulisan (written warning), (3) disiplin pemberhentian sementara (discipline layoff), dan (4) pemecatan (discharge).
Di samping itu, dalam pemberian sanksi korektif seyogyanya memperhatikan tiga hal berikut: (1) karyawan yang diberikan sanksi harus diberitahu pelanggaran atau kesalahan apa yang telah diperbuatnya; (2) kepada yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri dan (3) dalam hal pengenaan sanksi terberat, yaitu pemberhentian, perlu dilakukan “wawancara keluar” (exit interview) pada waktu mana dijelaskan antara lain, mengapa manajemen terpaksa mengambil tindakan sekeras itu.
Burack (1993) mengingatkan bahwa pemberian sanksi korektif yang efektif terpusat pada sikap atau perilaku seseorang dalam unit kelompok kerja yang melakukan kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja dan bukan karena kepribadiannya.
Untuk itu, dalam penerapan sanksi korektif hendaknya hati-hati jangan sampai merusak seseorang maupun suasana organisasi secara keseluruhan. Dalam pemberian sanksi korektif harus mengikuti prosedur yang benar sehingga tidak berdampak negatif terhadap moral kerja anggota kelompok. Ada beberapa pengaruh negatif bilamana tindakan sanksi korektif dilakukan secara tidak benar, yaitu: (1) disiplin manajerial, (2) disiplin tim, (3) disiplin diri. (Robert F. Hopkins, 1996). Pengaruh negatif atas penerapan tindakan sanksi korektif yang tidak benar akan berpengaruh terhadap kewibawaan manajerial yang akan jadi menurun, demikian juga dalam tindakan sanksi korektif dalam tim yang tidak benar dapat berakibat terhadap kurangnya partisipasi karyawan terhadap organisasi, dimana kerja tim akan menjadi tidak bersemangat dalam melaksanakan tugas kerja samanya, dan menjadi tercerai-berai karena kesalahan tindakan disiplin tim.

Wadaslintang, 14 November 2010

Mantan Ratu India Hidup dalam Kemiskinan

Mantan-ratu-india-hidup-dalam-kemisk-7dafc38.htmlLiputan6.com, Sattur: Hidup dalam kemiskinan. Itulah yang kini dijalani Appamma Kajjallappa, istri ketiga Raja Venkateswara Ettappa, penguasa di Virudhunagar, India. Bersama anaknya, dia rela hidup di sebuah gubuk dan berjuang keras untuk mendapatkan sesuap nasi.
Lho, memang ke mana harta benda peninggalan suaminya "Sudah saya sumbangkan ke rakyat," kata Appama, baru-baru ini. Bahkan, istana peninggalan juga sudah berubah menjadi sebuah sekolah demi memenuhi permintaan rakyat.
"Anggota keluarga kami sangat murah hati. Kami menyumbangkan segalanya demi kejehateraan desa. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin," tambah Appama.
Appama menambahkan, "Mungkin dulu saya adalah seorang ratu, tapi kini saya bukan siapa-siapa lagi. Kami sangat miskin."
Beberapa penduduk desa merasa iba dengan nasib ratu mereka. Sebenarnya, Appamma bekerja di kuil saat ada perayaan ataupun persembahan. Namun, setiap kali penduduk ingin memberikan sesuatu, Appama selalu menolak. Ia beranggapan melayani kuil suci merupakan suatu kehormatan bagi dirinya.(Bernama/DES/ULF)

Gebrakan MPR Empat Pilar Berbangsa Perlihatkan Hasil

Jakarta (ANTARA)- Wakil Ketua Fraksi PDIP MPR Daryatmo Mardiyanto mengatakan gebrakan MPR untuk memasyarakatkan empat pilar kehidupan berbangsa yakni Pancasila, UUD1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan tindakan tepat.
Upaya MPR itu sekarang sudah mulai memperlihatkan hasilnya.
"Sudah semakin dirasakan kalau generasi muda kita sekarang ini menemukan kembali Pancasila sebagai kompas atau panduan dari nilai-nilai ke Indonesiaan ke depan," kata Wakil Ketua Fraksi PDIP MPR Daryatmo Mardiyanto kepada pers di Jakarta, Minggu.
Belakangan ini, tambah Daryatmo Mardiyanto, generasi muda terutama pelajar SMP dan SMA semakin memahami empat pilar itu sebagai sistem nilai nasional, dan diharapkan bisa memandu perilaku hidup mereka sehari-hari.
Daryantmo menegaskan saat ini semakin banyaka unsur masyarakat khususnya generasi muda yang tertarik bekerja sama mensosialisasikan empat pilar kehidupan kebangsaan, yaitu Pancasila UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Terakhir ini, Ikatan Pelajar Muhammadiyah(IPM) menawarkan kerja sama tersebut ketika pengurus pusatnya bertemu dengan Wakil Ketua MPR Meilani Leimena.
Menurut Daryatmo, sosialiasi empat pilar oleh MPR itu sudah dilakukan melalui kegiatan cerdas cermat ditingkat pelajar di seluruh tanah air , melakukan trainer of training(ToT) dikalangan pejabat pemerintah dan birokrasi serta para guru di sekolah.
Para tenaga pendidik itu pun kemudian menyampaikan kepada semua muridnya.
"Pengetahuan mereka tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika membanggakan, meski kemasannya dalam bahasa pergaulan," ujar anggota Komisi VII DPR itu.
Ketika dilakukan sosialisasi dengan tema empat pilar lanjut Daryatmo, terdapat pertemuan dengan harapan masyarakat tentang diperkuatnya kembali sistem nilai kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila.
"Ketika pragmatisme semakin menonjol dan mulai menggeser makna dari substansi sebuah nilai masyarakat, maka generasi muda bangsa menemukan kembali Pancasila sebagai suar dari nilai ke Indonesia," katanya.
Lebih lanjut ditegaskan, Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa, ternyata dikenal di seluruh dunia. Buktinya, Presiden AS Barack Obama menyebut kata Pancasila dengan fasih saat berada ditengah-tengah civitas akademika Universitas Indonesia(UI) pekan lalu.
Sosialisasi empat pilar itu menurut Daryatmo , merupakan tanggung jawab 692 anggota MPR , yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Indonesia pada waktu pemilu.
"Selama masa jabatannya, anggota MPR harus bekerja memasyarakatkan keempat pilar kebangsaan kita," katanya.

Wadaslintang, 14 November 2010

Kamis, 21 Oktober 2010

Malam Ini, Langit Indonesia Diwarnai Hujan Meteor

Rabu, 20 Oktober 2010
Malam Ini, Langit Indonesia Diwarnai Hujan Meteor
Ilustrasi
Hujan meteor adalah fenomena alam yang lumrah. Namun tidak sedikit orang yang menunggu-nunggu peristiwa tersebut untuk mengagumi karya Tuhan yang satu ini. Nah, pada 20-22 Oktober ini diperkirakan puncak hujan meteor orionid.
Hujan Meteor Orionid akan mencapai puncaknya malam ini."Sebenarnya ini sudah terjadi sejak awal Oktober sampai awal November, memang lumayan agak panjang terjadinya. Puncaknya sekitar 20-22 Oktober," ujar peneliti matahari dan  antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin.
Pada saat puncak, rata-rata sekitar 20-40 meteor yang jatuh per jamnya. Bila dalam satu jam ada 40 meteor yang jatuh, maka kira-kira sekitar satu menit ada satu meteor yang jatuh.
"Debu komet seukuran pasir, jadi beberapa detik sudah hilang habis terbakar. Seperti bintang berpindah," terang Djamaluddin.
Disebut hujan meteor orionid karena jatuhnya meteor di rasi bintang Orion. Fenomena ini terjadi karena bumi melintasi debu sisa komet Halley. Sebenarnya akibat lintasan bumi ini, terjadi 2 kali hujan meteor yang hampir sama. Pada bulan Mei terjadi hujan meteor Eta Aquarids, sedangkan pada Oktober menyebabkan hujan meteor Orionid.
"Namanya beda karena arah datangnya beda. Saat Mei, bumi melintasi debu komet Halley juga, tapi hujan meteornya terlihat dari rasi Aquarius. Kalau saat Oktober, dari bumi meteor tersebut di sekitar Orion," jelas Djamaluddin.
Sebenarnya hujan meteor Orionid ini adalah fenomena tahunan. Karena setiap tahun, bumi selalu melintasi debu sisa komet Halley. Peristiwa ini secara umum dapat disaksikan di hampir semua wilayah di bumi, terlebih bagi mereka yang tinggal di sekitar khatulistiwa.
"Di Indonesia bisa dilihat dengan mata telanjang. Bisa juga dengan kamera meteor, tapi harus memperhatikan monitor. Karena itu kalau cuaca memungkinkan, dengan mata telanjang bisa dilakukan," ucap pria peraih gelar doktor dari Universitas Kyoto, Jepang, ini.
Kalau dini hari nanti mendung, jangan khawatir. Orionid diperkirakan masih akan menghiasi langit Indonesia sampai Jumat (22/10) dini hari.

Upload Free - Images,Documents,Videos,Audios -Ziddu.com

Upload Free - Images,Documents,Videos,Audios -Ziddu.com: "- Sent using Google Toolbar"

Selasa, 19 Oktober 2010

Enam Tips Bangun Percaya Diri

Rabu, 20 Oktober 2010 09:17 WIB
KETIKA Anda merasa buruk tentang diri sendiri, apa yang dapat Anda lakukan untuk merasa lebih baik? Padahal Anda  kehilangan pekerjaan Anda, tidak mendapatkan promosi yang Anda harapkan atau kekasih Anda memutuskan hubungan. Bangun kembali kepercayaan diri Anda melalui 6 tips berikut ini.

1. Melakukan perbuatan baik
Percayakah Anda bahwa jika melakukan perbuatan baik untuk orang lain, efek bahagianya akan sama dengan si penerima kebaikan Anda? Berbuat baik akan membuat Anda ketagihan sekaligus menghilangkan perasaan Anda sebagai orang yang kalah dan pecundang.

2. Buatlah aksi sosial kecil
Bawa majalah lama Anda ke ruang tunggu dokter dan tinggalkanlah sehingga orang lain dapat membacanya. Cara lain, Anda juga bisa masuk dalam aksi donor yang paling relevan untuk Anda.

3. Simpan resolusi
Komitmen Anda akan sesuatu hal segeralah diwujudkan sesuai dengan rencana waktu. Contoh kecil, jika Anda berencana untuk membereskan rumah di akhir pekan, jangan tunda lagi sehingga Anda kelak tidak punyai cukup waktu.

4. Menjadi seorang ahli
Ada kepuasan besar jika Anda mengusai satu hal yang membuat kemampuan Anda semakin bertambah dan banyak orang yang membutuhkan Anda. Contohnya, Anda belajar mengenai bunga, menanam, merangkai dan kemudian menjualnya. Semakin hari kemampuan Anda akan meningkat dan Anda akan mendapatkan penghasilan.

5. Tingkatkan energi
Saat Anda berpikir dan merasa energi sangat banyak, mood Anda akan membaik. Cara menghimpun energi sebenarnya cukup mudah, Anda hanya perlu cukup tidur, cukup makanan sehat dan olahraga secara seimbang.

6. Tantangan fisik
Strategi ini mungkin sulit unuk beberapa orang yang menderita phobia. Padahal banyak orang yang merasa hebat setelah ia melakukan tantangan yang berbahaya termasuk mengalahkan ketakutan pada berlayar, arung jeram, bungee-jumping, atau roller coaster. Solusinya untuk yang kurang berani cobalah berlari, naik sepeda atau aerobik. (MI/BEY)

Permendiknas No. 18 Tahun 2010 tentang Juknis DAK Bidang Pendidikan untuk SD | Khalid Mustafa's Weblog

Permendiknas No. 18 Tahun 2010 tentang Juknis DAK Bidang Pendidikan untuk SD | Khalid Mustafa's Weblog: "- Sent using Google Toolbar"

Minggu, 17 Oktober 2010

POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM

PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN DI KELAS

Oleh: Prof. Dr. H. Mohamad Surya*

 

Teknologi komunikasi dan informasi dalam pendidikan

              Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan  TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu:
·         dari pelatihan ke penampilan,
·         dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja,
·         dari kertas ke “on line” atau saluran,
·         fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja,
·         dari waktu siklus ke waktu nyata.

Komunikasi sebagai media pendidikan  dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet.
Menurut Rosenberg (2001; 28), e-learning merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu:
  1. e-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau informasi,
  2. pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar,
  3. memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional.  Saat ini e-learning telah berkembang dalam  berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti: 
v  CBT (Computer Based Training),
v  CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education,
v  CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing,
v  ILS (Integrated Learning Syatem),
v  LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training), dsb.
 

Tata Krama Murid-Guru Tentukan Pendidikan Karakter

Cetak
Jumat, 15 Oktober 2010 08:10
Pendidikan karakter yg dibangun saat ini seharusnya akan menyegarkan dan menyehatkan. Demikian disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional "Merekonstruksi Sistem Pendidikan Indonesia",  di Hotel Gran Senyiur, Balikpapan, Kalimantan Timur, hari minggu yang lalu.
Mendiknas mengatakan, dalam menyukseskan pendidikan karakter ada tiga aspek yang harus dirombak. Pertama, tata krama antara hubungan murid dan guru. "Dari tata krama itulah akan kelihatan, hubungan murid dan guru tersebut adalah transaksi kemuliaan atau transaksi bisnis," kata Menteri Nuh.

Kedua, hakikat dari ilmu itu sendiri yang harus ditata kembali. Dan ketiga, metodologi belajar mengajar yang harus dibenahi. Berkenaan dengan pembenahan metodologi belajar mengajar, Menteri Nuh meminta agar para praktisi pendidikan tidak cepat tergiur dengan metode-metode yang ada di luar negeri, tanpa memikirkan kecocokan dengan metode sendiri. Menurut dia, di setiap struktur sosial, setiap bangsa memiliki budaya masing-masing, oleh karena itu metodologinya pun berbeda.
"Bukan anti luar negeri, tetapi tidak juga serta-merta melakukan penyesuaian dengan yang kita punya," kata Menteri Nuh. Mendiknas juga berharap, guru sebagai salah satu unsur penentu keberhasilan pendidikan karakter saat ini bisa meningkatkan kualitas diri. Anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan guru dan dosen mencapai 70 persen dari total APBN untuk pendidikan. Diharapkan, dengan kesejahteraan guru yang meningkat, mampu mendongkrak pendidikan karakter saat ini dan nanti.
Mendiknas menilai penting menanamkan nilai-nilai kejujuran sedini mungkin. "Menjadi diri sendiri dan mampu membagi waktu juga merupakan bagian penting dalam pendidikan karakter. Dan yang tidak kalah penting adalah optimisme," imbuh Mendiknas.
sumber: kemdiknas.go.id

18 Oktober 2010

Selasa, 12 Oktober 2010

Mendiknas: Kembangkan Tradisi Meneliti

Tradisi penelitian di dunia pendidikan perlu dikembangkan lewat pembiasaan. Hal itu bisa terwujud jika rasa kepenasaran intelektual sudah melekat sejak di sekolah dasar dan menengah di bawah bimbingan para guru. Dengan demikian, dalam 10-15 tahun ke depan dapat lahir generasi baru Indonesia yang memiliki kepenasaran intelektual yang memadahi, di samping memiliki karakter-karakter kemuliaan yang lain.
Demikian disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam pembukaan Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) 2010 di Plaza Insan Berprestasi Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Rabu (6/10/2010).
Kegiatan yang berlangsung mulai 4-9 Oktober 2010 ini ditujukan bagi siswa sekolah menengah atas (SMA). Tujuannya, untuk menjaring siswa yang memiliki bakat dan kemampuan dalam bidang penelitian. Para peserta akan mempresentasikan hasil penelitiannya pada dewan juri melalui wawancara langsung di lokasi pameran. Terlebih dahulu mereka melakukan pemasangan poster penelitian. Penilaian meliputi makalah terbaik, display terbaik, dan interaksi terbaik. Bidang-bidang yang diteliti meliputi Ekologi (Kimia, Lingkungan, Biologi), Sains (Fisika, Matematika, Komputer/Informatika), serta IPS dan humaniora (Ekonomi dan Manajemen, Sejarah dan Kebudayaan, Bahasa dan Kesusasteraan, Pendidikan dan Psikologi, dan Sosiologi Antropologi).

Menurut Mendiknas, dalam mengantarkan siswa memiliki budaya meneliti, pihak sekolah tidak boleh terjebak pada proses pembelajaran yang sifatnya supervisial atau proses pembelajaran yang hanya ada di lapisan atasnya saja. "Kita harus masuk kepada wilayah yang lebih mendalam (dengan) menggunakan alat ukur 'mengapa'. Itu adalah alat ukur logika untuk mencari jawaban di balik fenomena supervisial tadi itu," katanya.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto mengatakan, OPSI diselenggarakan untuk menumbuhkembangkan budaya meneliti di kalangan siswa SMA, memotivasi siswa SMA untuk mengkreasi dalam berbagai bidang ilmu sesuai minat dan bakatnya, dan untuk mendapatkan hasil penelitian yang orisinal, berkualitas, dan kompetitif.
sumber : kompas.com

12 Oktober 2010

Kemendiknas Ubah Status 30 RSBI Menjadi Sekolah Biasa


REPUBLIKA.CO.ID,SOLO--Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal mengatakan, pihaknya telah mengubah status 30 Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) menjadi sekolah biasa pada 2010. Hal ini dilakukan lantaran sekolah tersebut dinilai tidak mampu mengelola RSBI.

“Kita setiap tahun melakukan evaluasi terhadap sekitar 100 RSBI yang ada. Apakah mereka mampu mengelola RSBI atau tidak. Kalau ternyata tidak mampu ya kita drop atau kita cabut status RSBI menjadi sekolah biasa, “ ujarnya ditemui di Solo, Selasa (20/7).
REPUBLIKA.CO.ID,SOLO--Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal mengatakan, pihaknya telah mengubah status 30 Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) menjadi sekolah biasa pada 2010. Hal ini dilakukan lantaran sekolah tersebut dinilai tidak mampu mengelola RSBI.

“Kita setiap tahun melakukan evaluasi terhadap sekitar 100 RSBI yang ada. Apakah mereka mampu mengelola RSBI atau tidak. Kalau ternyata tidak mampu ya kita drop atau kita cabut status RSBI menjadi sekolah biasa, “ ujarnya ditemui di Solo, Selasa (20/7).

Fasli menegaskan, pihaknya telah memperketat syarat sekolah menjadi RSBI. Termasuk di dalamnya adalah standar minimal dana yang dipungut dari orang tua siswa. “Ada RSBI yang meminta tambahan dana dengan alasan untuk memacu mutu. Tapi ada yang kebablasan. Meski sudah diperketat, masih saja ada perilaku sekolah yang distortif, “ ujarnya.

Tingginya biaya pendidikan di RSBI, Fasli mengatakan, lantaran adanya kesalahan pandangan antara konsep kelas internasional dan RSBI. Dikatakannya, konsep kelas internasional yang mengimpor tenaga pengajar dari luar negeri biasanya diadopsi oleh RSBI. Impor tenaga pendidikan tersebut, ujarnya, telah membubungkan biaya pendidikan di RSBI. “Kelas internasional itu bukan konsep RSBI, “ tegasnya.

Ulah RSBI yang menaikkan biaya pendidikan, lanjut Fasli, seharusnya dapat dikontrol oleh pihak Pemerintah Daerah (Pemda). Hal ini lantaran pihak Kemendiknas sendiri telah memberi tambahan dana untuk RSBI. “Ada penambahan dana dari kita. Kalau ada perilaku RSBI yang kebablasan dalam menaikkan biaya, bisa diatur Pemda, “ cetusnya.

Fasli mengakui, dalam perjalanan RSBI menuju Sekolah Berstandar Internasional (SBI) membutuhkan proses panjang. Dikatakannya, tidak semua sekolah rintisan tersebut dapat menjadi SBI. “Kalau RSBI pasti sudah di atas standar nasional tapi masih rintisan untuk menuju SBI. Ada yang sampai dalam waktu dua atau lima tahun, tapi ada yang terpaksa di drop, “ ujarnya.

12 Oktober 2010