Jumat, 23 Juli 2010

Model Pembelajaran Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional

Oleh: Depdiknas

Mutu kegiatan belajar-mengajar akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan SKM/SSN. Oleh karena itu, kegiatan belajar-mengajar bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dirancang dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat dicapai hasil percepatan belajar secara optimal, dan sebaliknya. Seperti dikemukakan Caroll dan Bloom (1974 dalam Munandar, 2001) bahwa banyak peserta didik yang memiliki bakat, minat, kemampuan dan kecerdasan luar biasa, bahkan sebaliknya maka dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar dapat diterapkan pelayanan individual dan pelayanan kelompok.

Model Pembelajaran Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional

Pemberian layanan secara individual membawa implikasi dalam manajemen yakni penambahan tenaga, sarana dan dana. Oleh karena itu dilakukan gabungan antara layanan individual dan kelompok, dengan pengertian bahwa pada umumnya layanan pendidikan diberikan pada kelompok peserta didik yang memiliki kemampuan dalam matapelajaran yang sama. Meskipun kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara kelompok, penilaian terhadap kemajuan hasil belajar merupakan penilaian kemampuan individu setiap peserta didik. Kecuali penilaian yang dirancang untuk mengetahui kemampuan dan kemajuan belajar/ hasil kerja kelompok.

Model pembelajaran yang dilaksanakan saat ini mengacu pada prinsip-prinsip yang dikemukakan Bruner (Munandar, 2001) yaitu memberikan pengalaman khusus yang dapat dipahami peserta didik; pengajaran diberikan sesuai dengan struktur pengetahuan/keilmuan sehingga peserta didik lebih siap menyerapnya; susunan penyajian pengajaran yang lebih efektif dan dipertimbangkan ganjaran yang sesuai. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada SKM/SSN tidak hanya ditekankan pada pencapaian aspek intelektual saja, melainkan dalam pembelajaran perlu diciptakan kegiatan dan suasana belajar yang memungkinkan berkembangnya semua dimensi dalam pendidikan, seperti: watak, kepribadian, intelektual, emosional dan sosial. Sehingga diharapkan tercapai kemajuan dan perkembangan yang seimbang antara semua dimensi tersebut.

Strategi pembelajaran yang sesuai untuk mencapai dimensi di atas, adalah strategi pembelajaran yang terfokus pada belajar bagaimana seharusnya belajar (Zamroni, 2000). Strategi ini harus menekankan pada perkembangan kemampuan intelektual tinggi, memiliki kepekaan (sensitif) terhadap kemajuan belajar dari tingkat konseptual rendah ke tingkat intelektual tinggi. Untuk itu metode pembelajaran yang paling sesuai antara lain metode pembelajaran induktif, divergen dan berpikir evaluatif. Pembelajaran model hafalan pada pembelajaran program siswa yang memiliki kemampuan lebih sejauh mungkin dicegah dengan memberikan tekanan pada teknik yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.

Dari pemaparan di atas sesungguhnya pembelajaran yang terjadi merupakan impelemntasi dari model Dick dan Carey dimana peran guru atau tugas utama guru adalah sebagai perancang pembelajaran, dengan peranan tambahan sebagai pelaksana dan penilai kegiatan belajar mengajar (Riyanto, 2001). Dengan kata lain strategi belajar mengajar yang terapkan dalam mengajar pada SKM/SSN bukan hanya menekankan pada aspek intelektual saja melainkan pada juga pada proses kreatif dan berfikir tinggi dalam bentuk strategi belajar yang bervariasi yang harus diciptakan oleh guru secara kreatif.

Menurut Arends (2001) seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran harus menampilkan tiga aspek penting. Ketiga aspek ini adalah: (1) kepemimpinan, (2) pemberian instruksi melalui tatap muka dengan peserta didik, (3) bekerja dengan peserta didik, kolega, dan orang tua. Untuk membangun kelas dan sekolah sebagai organisasi belajar, ketiga aspek tersebut harus terpadu.

Pada aspek kepemimpinan, banyak peran guru sama dengan peran pemimpin yang bekerja pada tipe organisasi lain. Pemimpin diharapkan mampu merencanakan, memotivasi, dan mengkoordinasi pekerjaan sehingga tiap individu dapat bekerja secara independen, dan membantu memformulasi serta menilai pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran guru harus merancang dan melakukan pekerjaan secara efisien, kreatif, tampil menarik dan berwibawa sebagai seorang aktor di depan kelas, serta hasilnya harus memenuhi standar kualitas.

Pada aspek pemberian instruksi, guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas melalui tatap muka menyampaikan informasi dan mengarahkan apa yang harus dilakukan peserta didik. Pada apsek ini hal yang perlu diperhatikan adalah unsur konsentrasi atau perhatian peserta didik terhadap uraian materi yang disampaikan guru. Pada umumnya perhatian penuh peserta didik berlangsung pada 5 sampai 10 menit pertama, setelah itu perhatiannya akan turun. Untuk itu guru harus berusaha menjaga perhatian peserta didik, misalnya dengan memberi contoh penggunaan materi atau konsep yang diajarkan di lapangan.

Pada aspek kerja sama, untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal guru harus melakukan kerjasama dengan peserta didik, kolega guru, dan orang tua. Masalah yang dihadapi guru dapat berupa masalah di kelas, atau masalah individu peserta didik. Masalah di kelas dapat didiskusikan dengan guru lain yang mengajar di kelas yang sama atau yang mengajar mata pelajaran sama di kelas lain. Masalah individu peserta didik dibicarakan dengan orang tua peserta didik. Dengan demikian semua masalah yang terjadi di kelas dapat diselesaikan.

Pembelajaran pada dasarnya merupakan interaksi antara peserta didik dan sumber belajar. Pembelajaran di kelas terjadi karena ada interaksi antara peserta didik dengan guru. Guru tidak saja memberi instruksi, tetapi juga bertindak sebagai anggota organisasi belajar dan sebagai pemimpin pada lingkungan kerja yang komplek. Semua perilaku guru di dalam dan di luar kelas akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pembelajaran.

Model pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu model tradisional yang berpusat pada guru dan model konstruktivis yang berpusat pada peserta didik (Arends, 2001). Model pembelajaran tradisonal terdiri atas ceramah atau presentasi, instruksi langsung, dan pengajaran konsep. Model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik atau konstruktivis terdiri atas belajar kooperatif, instruksi berbasis masalah, dan diskusi kelas.
Ada dua hal utama yang perlu diperhatikan pada model pembelajaran sekolah mandiri, yaitu : (1) pembelajaran, dan (2) evaluasi. Peran utama guru di sekolah adalah melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran merupakan kegiatan yang menggunakan teknik, metode, dan strategi yang sistematik untuk mengkreasi perpaduan yang ideal antara kurikulum dan peserta didik secara sistematik.

Teknik pembelajaran adalah bagian dari setiap metode, dan beberapa metode digabung menjadi strategi, yang merupakan kombinasi kemampuan dan keterampilan guru untuk menerapkan metode dan strategi pembelajaran. Teknik yang banyak digunakan antara lain : (1) menyampaikan informasi, (2) memotivasi, (3) memberi penguatan, (4) mendengarkan, (5) memberi dan menjawab pertanyaan, dan (6) pengelolaan.

Strategi pembelajaran adalah kombinasi metode yang berurutan dan dirancang agar peserta didik mencapai standar kompetensi. Menururt Kindsvatter, Wilen, & Ishler (1996:169) strategi formal yang dikembangkan berdasarkan penelitian pembelajaran yang efektif dan menekankan pada hasil belajar yang lebih tinggi adalah:

1. Pengajaran aktif : fokus akademik, pembelajaran diarahkan oleh guru dengan menggunakan bahan yang terstruktur dan berurutan.
2. Pembelajaran masteri: suatu pendekatan diagnostik individu pada pembelajaran di mana peserta didik melakukan pembelajaran dan diuji sesuai dengan kecepatannya untuk mencapai kompetensi.
3. Pembelajaran kooperatif : penggunaan tutor sebaya, pembelajaran grup, dan kerjasama untuk mendorong peserta didik belajar.

Model pembelajaran pada SKM/SSN menekankan pada potensi dan kebutuhan peserta didik agar mampu belajar mandiri yang dibangun melalui komunitas belajar di kelas. Strategi untuk memotivasi peserta didik membangun komunitas belajar tersebut meliputi : (1) meyakini potensi peserta didik, (2) membangun motivasi intrinsik, (3) menggunakan perasaan positif, (4) membangun minat belajar peserta didik, (5) membangun belajar yang menyenangkan, (6) memenuhi kebutuhan peserta didik, (7) mencapai tujuan pembelajaran, dan (8) memfasilitasi pengembangan kelompok.
Secara ringkas prinsip pembelajaran pada SKM/SSN adalah :

1. Berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar.
2. Menggunakan berbagai metode yang memudahkan peserta didik belajar.
3. Proses pembelajaran bersifat kontekstual.
4. Interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi, menantang dan dalam iklim yang kondusif.
5. Menekankan pada kemampuan dan kemauan bertanya dari peserta didik
6. Dilakukan melalui kelompok belajar dan tutor sebaya.
7. Mengalokasikan waktu sesuai dengan kemampuan belajar peserta didik
8. Melaksanakan program remedial dan pengayaan sesuai dengan hasil evaluasi formatif.

Sumber:

Model Pembelajaran Afektif (Sikap)

Model Pembelajaran Afektif (Sikap)Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum, yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.

Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski demikian, pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan dikembangkan di luar kurikulum formal sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah model pelatihan kepemimpinan ESQ ala Ari Ginanjar.

Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan. Ada beberapa model pemebelajaran afektif. Merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (2005) akan dikemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.

1. Model Konsiderasi

Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.

Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responsnya masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain, (5) mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.

2. Model pembentukan rasional

Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.

Langkah-langkah pembelajaran rasional: (1) menigidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atu penyimpangan tindakan, (2) menghimpun informasi tambahan, (3) menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, (4) mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya, (5) mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuen-ketentuan legal dalam masyarakat.

3. Klarifikasi nilai

Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.

Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai: (1) pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya, (2) mengharagai pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya, (3) berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya.

4. Pengembangan moral kognitif

Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.

Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif: (1) menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai, (2) siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu, (3) siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan kejelekannya, (4) siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik, (5) siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.

5. Model nondirektif

Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.

Langkah-langkah pembelajaran nondirekif: (1) menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas, (2) pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi, (3) pengembangan pemahaman (insight

Cooperative Learning-Teknik Jigsaw

Oleh : Novi Emildadiany*))

=========================

BAB I PENDAHULUAN

Cooperative Learning-Teknik JigsawPendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkatn aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.

Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran.

Berdasarkan pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran ekonomi. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru.

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.

Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.

Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.

Pembelajaran kooperatif terutama teknik Jigsaw dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia karena sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw dalam Pembelajaran”.

===========================

BAB II PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TEKNIK JIGSAW

A. Pembelajaran Cooperative Learning

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.

Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.

Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.

Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :

1. Saling ketergantungan positif.

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.

2. Tanggung jawab perseorangan.

Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.

3. Tatap muka.

Dalam pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.

4. Komunikasi antar anggota.

Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.

5. Evaluasi proses kelompok.

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada table berikut ini

Tabel Sintaks Pembelajaran Kooperatif

Teknik Jigsaw1

B. Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning

Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:

1. Hasil belajar akademik

Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

2. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

3. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

C. Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).

Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).

Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.

Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997) :

Kelompok Asal

Cooperative Learning1

Kelompok Ahli

Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw

Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :

* Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.

Cooperative Learning2

Gambar Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw

* Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

* Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
* Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
* Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
* Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
5. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.

Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2. Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
5. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.

=====================================

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembelajaran di sekolah yang melibatkan siswa dengan guru akan melahirkan nilai yang akan terbawa dan tercermin terus dalam kehidupan di masyarakat. Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam kelompok secara bergotong royong (kooperatif) akan menimbulkan suasana belajar partisipatif dan menjadi lebih hidup. Teknik pembelajaran Cooperative Learning dapat mendorong timbulnya gagasan yang lebih bermutu dan dapat meningkatkan kreativitas siswa.

Jigsaw merupakan bagian dari teknik-teknik pembelajaran Cooperative Learning. Jika pelaksanaan prosedur pembelajaran Cooperative Learning ini benar, akan memungkinkan untuk dapat mengaktifkan siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

Sampai saat ini pembelajaran Cooperative Learning terutama teknik Jigsaw belum banyak diterapkan dalam pendidikan walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Saran

Sudah saatnya para pengajar mengevaluasi cara mengajarnya dan menyadari dampaknya terhadap anak didik. Untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesamanya dalam pembelajaran di sekolah, model pembelajaran Cooperative Learning perlu lebih sering digunakan karena suasana positif yang timbul akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran dan sekolah / guru. Selain itu, siswa akan merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.

=========================

DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo.

Bambang Sudibyo. 2008. Materi Road Show Dewan Pendidikan Bersama Tim Wajar Dikdas Kabupaten Kuningan. Kuningan : Dewan Pendidikan Kabupaten Kuningan.

Daeng Sudirwo. 2002. Kurikulum dan Pembelajaran Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung : Andira.

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Pedoman Pembelajaran Ekonomi Secara Kontekstual Untuk Guru SMP. Jawa Barat : Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Pedoman Pembelajaran Geografi Secara Kontekstual Untuk Guru SMP. Jawa Barat : Depdiknas.

Dinas Pendidikan Kota Bandung. 2004. Model – model Pembelajaran. Bandung : SMP Kartika XI.

Lynne Hill. 2008. Pembelajaran Yang Baik. Bulettin PGRI Kuningan (Edisi ke-23 / Juni 2008).

Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.

Syaiful Sagala. 2006. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.

*)) Novi Emildadiany adalah mahasiswa tingkat IV pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah seminar Ilmu Manajemen, yang disampaikan oleh Bapak Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd. dan Bapak Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Pembelajaran Tuntas (Mastery-Learning) dalam KTSP

A. Latar Belakang

Pembelajaran Tuntas (Mastery-Learning) dalam KTSPSalah satu di antara masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya rata-rata prestasi belajar, khususnya peserta didik Sekolah Menengah Atas (SMA). Masalah lain adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran masih terlalu didominasi peran guru (teacher centered). Guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam berbagai mata pelajaran, untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik (menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis, belum memanfaatkan quantum learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan ketuntasan belajar secara individual.

Demikian juga proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita, umumnya belum menerapkan pembelajaran sampai peserta didik menguasai materi pembelajaran secara tuntas. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran kalau mutu pendidikan secara nasional masih rendah.

Penerapan Standar Isi yang berbasis pendekatan kompetensi sebagai upaya perbaikan kondisi pendidikan di tanah air ini memiliki beberapa alasan, di antaranya:

1. potensi peserta didik berbeda-beda, dan potensi tersebut akan berkembang jika stimulusnya tepat;
2. mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta mengabaikan aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni & olah raga, serta kecakapan hidup (life skill);
3. persaingan global yang memungkinkan hanya mereka yang mampu akan berhasil;
4. 4. persaingan kemampuan SDM (Sumber Daya Manusia) produk lembaga pendidikan;
5. persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga perlu rumusan yang jelas mengenai standar kompetensi lulusan.

Upaya-upaya dalam rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi meliputi: kewenangan pengembangan, pendekatan pembelajaran, penataan isi/konten, serta model sosialisasi, lebih disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi serta era yang terjadi saat ini. Pendekatan pembelajaran diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengelola perolehan belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses pembelajaran lebih mengacu kepada bagaimana peserta didik belajar dan bukan lagi pada apa yang dipelajari.

Sesuai dengan cita-cita dari tujuan pendidikan nasional, guru perlu memiliki beberapa prinsip mengajar yang mengacu pada peningkatan kemampuan internal peserta didik di dalam merancang strategi dan melaksanakan pembelajaran. Peningkatan potensi internal itu misalnya dengan menerapkan jenis-jenis strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual.

Berbicara tentang rendahnya daya serap atau prestasi belajar, atau belum terwujudnya keterampilan proses dan pembelajaran yang menekankan pada peran aktif peserta didik, inti persoalannya adalah pada masalah “ketuntasan belajar” yakni pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan bagi setiap kompetensi secara perorangan. Masalah ketuntasan belajar merupakan masalah yang penting, sebab menyangkut masa depan peserta didik, terutama mereka yang mengalami kesulitan belajar.

Pendekatan pembelajaran tuntas adalah salah satu usaha dalam pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi peserta didik mencapai penguasaan (mastery level) terhadap kompetensi tertentu. Dengan menempatkan pembelajaran tuntas (mastery learning) sebagai salah satu prinsip utama dalam mendukung pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, berarti pembelajaran tuntas merupakan sesuatu yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh warga sekolah. Untuk itu perlu adanya panduan yang memberikan arah serta petunjuk bagi guru dan warga sekolah tentang bagaimana pembelajaran tuntas seharusnya dilaksanakan.

B. Asumsi Dasar

Metode pembelajaran adalah cara untuk mempermudah peserta didik mencapai kompetensi tertentu. Hal ini berlaku baik bagi guru (dalam pemilihan metode mengajar) maupun bagi peserta didik (dalam memilih strategi belajar). Dengan demikian makin baik metode, akan makin efektif pula pencapaian tujuan belajar (Winarno Surahmad, 1982). Langkah metode pembelajaran yang dipilih memainkan peranan utama, yang berakhir pada semakin meningkatnya prestasi belajar peserta didik.

Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta didik tersebut belum optimal. Block (1971) menyatakan tingkat penguasaan kompetensi peserta didik sebagai berikut :

tingkat penguasaan kompetensi peserta didik

Model ini menggambarkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi (degree of learning) ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar digunakan (time actually spent) untuk belajar dibagi dengan waktu yang diperlukan (time needed) untuk menguasai kompetensi tertentu.

Dalam pembelajaran konvensional, bakat (aptitude) peserta didik tersebar secara normal. Jika kepada mereka diberikan pembelajaran yang sama dalam jumlah pembelajaran dan waktu yang tersedia untuk belajar, maka hasil belajar yang dicapai akan tersebar secara normal pula. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara bakat dan tingkat penguasaan adalah tinggi. Secara skematis konsep tentang prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan konvensional dapat digambarkan sebagai berikut :

konsep tentang prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan konvensional

Sebaliknya, apabila bakat peserta didik tersebar secara normal, dan kepada mereka diberi kesempatan belajar yang sama untuk setiap peserta didik, tetapi diberikan perlakuan yang berbeda dalam kualitas pembelajarannya, maka besar kemungkinan bahwa peserta didik yang dapat mencapai penguasaan akan bertambah banyak. Dalam hal ini hubungan antara bakat dengan keberhasilan akan menjadi semakin kecil.

Secara skematis konsep prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran tuntas, dapat digambarkan sebagai berikut:

dampak pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran tuntas

Dari konsep-konsep di atas, kiranya cukup jelas bahwa harapan dari proses pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas adalah untuk mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi peserta didik yang lambat agar menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar. Dari konsep tersebut, dapat dikemukakan prinsip-prinsip utama pembelalaran tuntas adalah:

1. Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis,
2. Evaluasi yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,
3. Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,
4. Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal. (Gentile & Lalley: 2003)

C. Perbedaan antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran tuntas adalah pola pembelajaran yang menggunakan prinsip ketuntasan secara individual. Dalam hal pemberian kebebasan belajar, serta untuk mengurangi kegagalan peserta didik dalam belajar, strategi belajar tuntas menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi mengakui dan melayani perbedaan-perbedaan perorangan peserta didik sedemikiah rupa, sehingga dengan penerapan pembelajaran tuntas memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal. Dasar pemikiran dari belajar tuntas dengan pendekatan individual ialah adanya pengakuan terhadap perbedaan individual masing-masing peserta didik.

Untuk merealisasikan pengakuan dan pelayanan terhadap perbedaan individu, pembelajaran harus menggunakan strategi pembelajaran yang berasaskan maju berkelanjutan (continuous progress). Untuk itu, pendekatan sistem yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam teknologi pembelajaran harus benar-benar dapat diimplementasikan. Salah satu caranya adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar harus dinyatakan secara jelas, dan pembelajaran dipecah-pecah ke dalam satuan-satuan (cremental units). Peserta didik belajar selangkah demi selangkah dan boleh mempelajari kompetensi dasar berikutnya setelah menguasai sejumlah kompetensi dasar yang ditetapkan menurut kriteria tertentu. Dalam pola ini, seorang peserta didik yang mempelajari unit satuan pembelajaran tertentu dapat berpindah ke unit satuan pembelajaran berikutnya jika peserta didik yang bersangkutan telah menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi dasar yang ditetapkan. Sedangkan pembelajaran konvensional dalam kaitan ini diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa dilakukan, sifatnya berpusat pada guru, sehingga pelaksanaannya kurang memperhatikan keseluruhan situasi belajar (non belajar tuntas).

Dengan memperhatikan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara pembelajaran tuntas dengan pembelajaran konvensional adalah bahwa pembelajaran tuntas dilakukan melalui asas-asas ketuntasan belajar, sedangkan pembelajaran konvensional pada umumnya kurang memperhatikan ketuntasan belajar khususnya ketuntasan peserta didik secara individual. Secara kualitatif perbandingan ke dua pola tersebut dapat dicermati pada Tabel berikut,

Tabel 1: Perbandingan Kualitatif antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran Konvensional
Langkah Aspek Pembeda Pembelajaran Tuntas Pembelajaran Konvensional
A. Persiapan 1.Tingkat ketuntasan Diukur dari performance peserta didik dalam setiap unit (satuan kompetensi atau kemampuan dasar). Setiap peserta didik harus mencapai nilai 75 Diukur dari performance peserta didik yang dilakukan secara acak
2. Satuan Acara Pembelajaran Dibuat untuk satu minggu pembelajaran, dan dipakai sebagai pedoman guru serta diberikan kepada peserta didik Dibuat untuk satu minggu pembelajar-an, dan hanya dipakai sebagai pedoman guru
3. Pandangan terhadap kemampuan peserta didik saat memasuki satuan pembelajaran tertentu Kemampuan hampir sama, namun tetap ada variasi Kemampuan peserta didik dianggap sama
B. Pelaksanaan pembelajaran 4. Bentuk pembelajaran dalam satu unit kompetensi atau kemampuan dasar Dilaksanakan melalui pendekatan klasikal, kelompok dan individual Dilaksanakan sepenuhnya melalui pendekatan klasikal
5. Cara pembelajaran dalam setiap standar kompetensi atau kompetensi dasar Pembelajaran dilakukan melalui penjelasan guru (lecture), membaca secara mandiri dan terkontrol, berdiskusi, dan belajar secara individual Dilakukan melalui mendengarkan (lecture), tanya jawab, dan membaca (tidak terkontrol)
6. Orientasi pembelajaran Pada terminal performance peserta didik (kompetensi atau kemampuan dasar) secara individual Pada bahan pembelajaran
7. Peranan guru Sebagai pengelola pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual Sebagai pengelola pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan seluruh peserta didik dalam kelas
8. Fokus kegiatan pembelajaran Ditujukan kepada masing-masing peserta didik secara individual Ditujukan kepada peserta didik dengan kemampuan menengah
9. Penentuan keputusan mengenai satuan pembelajaran Ditentukan oleh peserta didik dengan bantuan guru Ditentukan sepenuhnya oleh guru
C. Umpan Balik 10. Instrumen umpan balik Menggunakan berbagai jenis serta bentuk tagihan secara berkelanjutan Lebih mengandalkan pada penggunaan tes objektif untuk penggalan waktu tertentu
11. Cara membantu peserta didik Menggunakan sistem tutor dalam diskusi kelompok (small-group learning activities) dan tutor yang dilakukan secara individual Dilakukan oleh guru dalam bentuk tanya jawab secara klasikal

D. Indikator Pelaksanaan Pembelajaran Tuntas

1. Metode Pembelajaran

Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi juga mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual peserta didik, sehingga pembelajaran memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal.

Adapun langkah-langkahnya adalah :

* mengidentifikasi prasyarat (prerequisite),
* membuat tes untuk mengukur perkembangan dan pencapaian kompetensi,
* mengukur pencapaian kompetensi peserta didik.

Metode pembelajaran yang sangat ditekankan dalam pembelajaran tuntas adalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.

Pembelajaran tuntas sangat mengandalkan pada pendekatan tutorial dengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)

2. Peran Guru

Strategi pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau tanggung jawab guru dalam mendorong keberhasilan peserta didik secara individual. Pendekatan yang digunakan mendekati model Personalized System of Instruction (PSI) seperti dikembangkan oleh Keller, yang lebih menekankan pada interaksi antara peserta didik dengan materi/objek belajar.

Peran guru harus intensif dalam hal-hal berikut:

* Menjabarkan/memecah KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyaratnya.
* Mengembangkan indikator berdasarkan SK/KD.
* Menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk yang bervariasi
* Memonitor seluruh pekerjaan peserta didik
* Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan afektif)
* Menggunakan teknik diagnostik
* Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan

3. Peran Peserta didik

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memiliki pendekatan berbasis kompetensi sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran peserta didik sebagai subjek didik. Fokus program pembelajaran bukan pada “Guru dan yang akan dikerjakannya” melainkan pada ”Peserta didik dan yang akan dikerjakannya”. Oleh karena itu, pembelajaran tuntas memungkinkan peserta didik lebih leluasa dalam menentukan jumlah waktu belajar yang diperlukan. Artinya, peserta didik diberi kebebasan dalam menetapkan kecepatan pencapaian kompetensinya. Kemajuan peserta didik sangat bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara individual.

4. Evaluasi

Penting untuk dicatat bahwa ketuntasan belajar dalam KTSP ditetapkan dengan penilaian acuan patokan (criterion referenced) pada setiap kompetensi dasar dan tidak ditetapkan berdasarkan norma (norm referenced). Dalam hal ini batas ketuntasan belajar harus ditetapkan oleh guru, misalnya apakah peserta didik harus mencapai nilai 75, 65, 55, atau sampai nilai berapa seorang peserta didik dinyatakatan mencapai ketuntasan dalam belajar.

Asumsi dasarnya adalah:

* bahwa semua orang bisa belajar apa saja, hanya waktu yang diperlukan berbeda,
* standar harus ditetapkan terlebih dahulu, dan hasil evaluasi adalah lulus atau tidak lulus. (Gentile & Lalley: 2003)

Sistem evaluasi menggunakan penilaian berkelanjutan, yang ciri-cirinya adalah:

* Ulangan dilaksanakan untuk melihat ketuntasan setiap Kompetensi Dasar
* Ulangan dapat dilaksanakan terdiri atas satu atau lebih Kompetensi Dasar (KD)
* Hasil ulangan dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial dan program pengayaan.
* Ulangan mencakup aspek kognitif dan psikomotor
* Aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori afektif seperti pengamatan, kuesioner, dsb.

Sistem penilaian mencakup jenis tagihan serta bentuk instrumen/soal. Dalam pembelajaran tuntas tes diusahakan disusun berdasarkan indikator sebagai alat diagnosis terhadap program pembelajaran. Dengan menggunakan tes diagnostik yang dirancang secara baik, peserta didik dimungkinkan dapat menilai sendiri hasil tesnya, termasuk mengenali di mana ia mengalami kesulitan dengan segera. Sedangkan penentuan batas pencapaian ketuntasan belajar, meskipun umumnya disepakati pada skor/nilai 75 (75%) namun batas ketuntasan yang paling realistik atau paling sesuai adalah ditetapkan oleh guru mata pelajaran, sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam penentuan batas ketuntasan untuk setiap KD maupun pada setiap sekolah dan atau daerah.

Mengingat kecepatan tiap-tiap peserta didik dalam pencapaian KD tidak sama, maka dalam pembelajaran terjadi perbedaan kecepatan belajar antara peserta didik yang sangat pandai dan pandai, dengan yang kurang pandai dalam pencapaian kompetensi. Sementara pembelajaran berbasis kompetensi mengharuskan pencapaian ketuntasan dalam pencapaian kompetensi untuk seluruh kompetensi dasar secara perorangan. Implikasi dari prinsip tersebut mengharuskan dilaksanakannya program-program remedial dan pengayaan sebagai bagian tak terpisahkan dari penerapan sistem pembelajaran tuntas.

Sumber:

Diambil dan Adaptasi dari :

Depdiknas. 2008. Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tuntas (Mastery-Learning) Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

A. Latar belakang

pembelajaran kontekstualAda kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang

Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil

Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual

B. Pemikiran tentang belajar

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.

1. Proses belajar

* Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka.
* Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
* Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
* Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
* Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
* Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
* Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.

2. Transfer Belajar

* Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
* Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit)
* Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu

3. Siswa sebagai Pembelajar

* Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
* Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
* Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
* Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.

4. Pentingnya Lingkungan Belajar

* Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.
* Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
* Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
* Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.

C. Hakekat Pembelajaran Kontekstual

Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)

D. Pengertian Pembelajaran Kontekstual

1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat

E. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional

Kontekstual

1. Menyandarkan pada pemahaman makna.
2. Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa.
3. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
4. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan.
5. Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
6. Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang.
7. Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok).
8. Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
9. Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
10. Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri. yang bersifat subyektif.
11. Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut merugikan.
12. Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik.
13. Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting.
14. Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.

Tradisional

1. Menyandarkan pada hapalan
2. Pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru.
3. Siswa secara pasif menerima informasi, khususnya dari guru.
4. Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, tidak bersandar pada realitas kehidupan.
5. Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan.
6. Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu.
7. Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja individual).
8. Perilaku dibangun atas kebiasaan.
9. Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
10. Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai rapor.
11. Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman.
12. Perilaku baik berdasarkan motivasi entrinsik.
13. Pembelajaran terjadi hanya terjadi di dalam ruangan kelas.
14. Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.

F. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas

Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.

Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya

1. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
2. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
3. Ciptakan masyarakat belajar.
4. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
5. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
6. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

G. Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual

1. Konstruktivisme

* Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
* Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan

2. Inquiry

* Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
* Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis

3. Questioning (Bertanya)

* Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
* Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry

4. Learning Community (Masyarakat Belajar)

* Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
* Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
* Tukar pengalaman.
* Berbagi ide

5. Modeling (Pemodelan)

* Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar.
* Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya

6. Reflection ( Refleksi)

* Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
* Mencatat apa yang telah dipelajari.
* Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok

7. Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya)

* Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
* Penilaian produk (kinerja).
* Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual

H. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

* Kerjasama
* Saling menunjang
* Menyenangkan, tidak membosankan
* Belajar dengan bergairah
* Pembelajaran terintegrasi
* Menggunakan berbagai sumber
* Siswa aktif
* Sharing dengan teman
* Siswa kritis guru kreatif
* Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
* Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain

I. Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual

Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya.

Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya.

Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.

Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.

1. Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar.
2. Nyatakan tujuan umum pembelajarannya.
3. Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu
4. Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa
5. Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.

Konsep PAKEM

oleh : Depdiknas

A. Apa itu PAKEM?

PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan.

Konsep PAKEM

Sehingga, jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:

1. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
3. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
4. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
5. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.

B. Apa yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM?

1. Memahami sifat yang dimiliki anak

Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.

2. Mengenal anak secara perorangan

Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif, Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.

3.Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar

Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.

4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah

Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).

5. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik

Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.

6. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar

Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat men-gembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.

7.Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar

Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.

8. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental

Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEMenyenangkan.’

C. Bagaimana Pelaksanaan PAKEM?

Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut. Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru.
Kemampuan Guru Pembelajaran
Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam. Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:
Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
Gambar
Studi kasus
Nara sumber
Lingkungan
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan. Siswa:
Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri
Menarik kesimpulan
Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri
Menulis laporan/hasil karya lain dengan kata-kata sendiri
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan. Melalui:
Diskusi
Lebih banyak pertanyaan terbuka
Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri
Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa. Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)
Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.
Tugas perbaikan atau pengayaan diberikan
Guru mengaitkan PEMBELAJARAN dengan pengalaman siswa sehari-hari. Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari
Menilai PEMBELAJARAN dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus. Guru memantau kerja siswa
Guru memberikan umpan balik

=============

Materi Terkait:

* Hakikat Pendidikan
* Pendekatan-Pendekatan dalam Teori Pendidikan
* Pendidikan yang Memerdekakan
* Pendidikan dari Jaman ke Jaman
* Pendidikan Multikultural di Indonesia
* Pendidikan Holistik
* Pendidikan Sepanjang Hayat (I)
* Pendidikan Sepanjang Hayat (II)

Kamis, 22 Juli 2010

Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia

(Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini)

Oleh: Pupu Saeful Rahmat

Staf Pengajar pada Prodi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Kuningan

Abstrak

Wacana Pendidikan Multikultural di IndonesiaIndonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya memiliki permasalahan sosial yang tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan mengapa Indonesia lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal Indonesia lebih awal merdeka. Padahal konon Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat baik. Tetapi mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini hanya berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia. Bahkan yang paling mengerikan, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.

Krisis ekonomi yang dikuti dengan berbagai krisis lainnya, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.

Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan “agent of change” bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model pembelajaran. Hal ini dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.

Kata Kunci: Pendidikan, Multikultural, Masalah sosial.

1. Pendahuluan

Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.

Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,

Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

2. Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.

Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.

Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.

Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

3. Implementasi Dalam Dunia Pendidikan

Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.

Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.

Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:

* Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
* Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
* Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
* Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.

Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.

4. Penutup

Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.

Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.

Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.

5. Daftar Pustaka

Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.

——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA

Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.

Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.