Rabu, 22 Oktober 2014

BAHASA PROKEM


Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.
Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa.  Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.

Banyak pendapat yang mengemukakan mengenai definisi remaja. Akan tetapi pada pada dasarnya menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.

Bahasa Prokem yang pernah populer digunakan dalam pergaulan anak muda Jakarta pada era tahun 80-an hingga awal 90-an. Coba baca dialog berikut ini:
Bedul : “Kenokap lu sendokiran di lokur?”
Jaki : “Lagi nunguin bokin.”
Bedul : “Emang kemoken doi?”
Jaki : “Doi bilang sih jokal-jokal ke snokay sama sedokurnya.”

Bagi pembaca yang lahir tahun 90-an kemungkinan tidak paham dengan dialog diatas, atau justru malah jadi geli membacanya. Tapi ada baiknya kita menelusuri sedikit mengenai bahasa yang kadang disingkat “okem” ini.

Bahasa ini kemungkinan dahulu muncul dari kalangan preman* jalanan yang berusaha agar pembicaraan mereka tidak mudah dimengerti orang lain (lebih-lebih terhadap aparat kepolisian). Dengan cara itu para preman dapat lebih mudah berkomunikasi dengan kelompoknya untuk melakukan setiap kegiatan. Tidak diketahui dari siapa dan dari mana bahasa ini berawal.

Bahasa ini akhirnya berkembang menjadi bahasa yang sering dipergunakan kalangan remaja pada tahun 80-an. Bagi kalangan remaja pada saat itu, bahasa prokem cenderung dipakai untuk menunjukkan ekpresi rasa kebersamaan dan juga untuk menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.

Kosakata remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang lebih kompleks. Remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan singkatan, akronim, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat mereka.

Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul. Di samping bukan merupakan bahasa yang baku, kata-kata dan istilah dari bahasa gaul ini terkadang hanya dimengerti oleh para remaja atau mereka yang kerap menggunakannya sehingga terkadang orang dewasa tidak memahami bahasa apa yang dikatakan oleh para remaja tersebut.

Penggunaan bahasa gaul ini merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Menurut Erikson (1968), remaja memasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion, yaitu pencarian dan pembentukan identitas. Penggunaan bahasa gaul ini juga merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak.Bahasa prokem adalah penggunaan kata-kata dalam bahasa yang tidak resmi dan ekspresi yang bukan merupakan standar penuturan dialek atau bahasa.
Kata dalam bahasa prokem biasanya kaya dalam domain tertentu, seperti kekerasan, kejahatan dan narkoba dan seks.

Bahasa prokem Indonesia atau bahasa gaul atau bahasa prokem yang khas Indonesia dan jarang dijumpai di negara-negara lain kecuali di komunitas-komunitas Indonesia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan/ pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta.

Belakangan ini bahasa prokem mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa pergaulan anak-anak remaja. Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja ini merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu (kalangan homo seksual atau waria). Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa-kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1999.

Kaidah Morfologis Bahasa Prokem
Kaidah morfologi bahasa Prokem pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) Kata-kata biasa yang diberi arti baru.
 Kata-kata semacam ini diambil dari bahasa Indonesia biasa yang diberikan arti baru. Dalam banyak hal, kata-kata semacam ini hampir sama dengan penggunaan metafora dan gaya bahasa umumnya dalam bahasa Indonesia.
Contoh :
meledak : berhasil mencuri barang berharga dan besar
tembak : memeras
cabut : pergi, berangkat dan atau pulang

2) Kata-kata Jadian.
Proses morfologis dengan menggunakan kata jadian dalam bahasa Prokem merupakan cara yang sangat produktif. Cara pembalikan huruf dalam kata dasar sebenarnya sering digunakan dalam kode yang biasa digunakan anak-anak yang dikenal dengan nama bahasa balik. Dalam bahasa Prokem, yang ditukar biasanya adalah dua huruf konsonan dalam suatu kata dasar yang bersuku dua, misalnya:

payah menjadi yapah
burung menjadi rubung
macan menjadi caman

3) Kata-kata Baru yang Tak Diketahui Akarnya.
          Kata-kata baru dalam bahasa Prokem yang termasuk kelompok ini sulit diketahui apakah ia merupakan kata-kata baru atau kata jadian, karena dasarnya tidak dikenali lagi. Kata ogut misalnya, segera mengingatkan kita pada kata gue (saya). Namun, tak ada contoh lain satupun yang dapat rnenjelaskan perubahan kata gue menjadi ogut. Hal yang sarna terjadi pula pada kata doi (kekasih, si dia), yang mudah dikenali sebagai berasal dari kata dia. Namun, sebagaimana ogut. proses perubahan dari dia menjadi doi pun tidak dapat ditelusuri prosesnya karena tidak ada contoh sejenis.
          Kata-kata yang sullt dikenali prosesnya dari akar kata bahasa Indonesia sebelum menjadi bahasa Prokem dalam beberapa hal bahkan sulit dicari akarnya dalam bahasa Indonesia, seperti beceng (pistol), bohay (wanita cantik), boin (bego. dungu), gentur (tidur), tit (mati) dan sebagainya.
          Proses semacam ini, tidak begitu produktif dalarn bahasa Prokem. Nampaknya, ia dihasilkan begitu saja, untuk kemudian, jika kebetulan, diterima dan digunakan berdasarkan kesepakatan diam-diam. 

Penggunaan Bahasa Prokem di Kalangan Remaja
Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakainnya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di luar lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Jadi, kehadirannya di dalam pertumbuhan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah tidak perlu dirisaukan karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan berkembang sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.
Hingga saat ini bahasa Prokem sudah jarang sekali digunakan oleh kalangan anak muda sekarang. Sisa-sisanya mungkin seperti : nyokap, bokap, bokep, toket, gokil, boke yang kadang masih kita dengar dari dialog remaja sekarang. Itupun juga hanya tinggal menunggu kepunahannya saja seiring dengan berkembangnya bahasa pergaulan baru atau lebih disebut juga “bahasa gaul”.

Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Hal itu merupakan perilaku kebahasaan dan bersifat universal. Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. 
Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain. Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakainnya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di luar lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Jadi, kehadirannya di dalam pertumbuhan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah tidak perlu dirisaukan karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan berkembang sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.
 
Bahasa gaul ini tidak hanya mereka (remaja) gunakan dalam berkomunikasi lisan tetapi mereka juga menggunakan bahasa gaul dalam penulisan. Biasanya mereka menggunakan bahasa gaul dalam menulis pesan singkat melalui telepon genggam. Ciri-ciri bahasa gaul yang digunakan remaja dalam menulis pesan singkat antara lain, yaitu :
(1) Dalam menulis kata biasanya mereka menggunakan kata-kata yang disingkat seperti lagi apa? menjadi gi pa?/pain, kuliah menjadi kul, sudah makan menjadi da mkn, bosan banget menjadi bosan bgt, kita menjadi qt, mau menjadi mo, pulang menjadi plg, padahal menjadi pdhl, kalau menjadi klo, dsb.
(2) Menggunakan simbol tambahan atau angka dalam menulis, misalnya p@ k@bar L0e?, tempat menjadi T4, sempat menjadi S4, berdua menjadi B2, senyum menjadi ^_^, babi menjadi :@), sedih menjadi L, pusing menjadi o:), mata genit menjadi ;-), dsb. Mereka tidak menyadari bahwa bagi orang awam membaca tulisan seperti itu sangatlah memusingkan, membuat mata sakit, dan susah memahaminya.
(3) Mereka juga terkadang menggunakan huruf z di belakang kata, contohnya because (bahasa Inggris) menjadi coz, easy (b. Inggris) menjadi ez, mengantuk menjadi Zzzzz, ketika mereka berbicara aksen huruf z pada akhir kata terdengar sangat jelas.
Selain ciri-ciri tersebut masih ada ciri bahasa gaul yang digunakan remaja dalam berkomunikasi dan terkadang mereka juga menggunakannya dalam menulis. Ciri-ciri tersebut, antara lain membuat akronim yang diciptakan sendiri tanpa memperhatikan kaidah pembuatan akronim, contohnya baru balas menjadi rules, gagal total menjadi gatot, ketiak basah menjadi kebas, nonton hemat menjadi nomat, mudah ngiler menjadi mungil, cinta lewat dukun menjadi cileduk, golongan orang jelek menjadi golek, pulang duluan menjadi puldul, muka jaman dulu menjadi mujadul, makan siang menjadi maksi, keren habis menjadi keris, tukang tipu menjadi tuti, dsb.
Mereka juga menciptakan kata baru untuk menggantikan kata yang sebenarnya, contohnya kerja menjadi gawe, gila menjadi gokil, ayah menjadi bokap, ibu menjadi nyokap, tidak ada nyali menjadi cemen, sudah menjadi udin, selingkuhan menjadi sephia, kasih sayang menjadi kacang, lupa menjadi lupita, dsb.
Masih banyak sekali bahasa gaul yang digunakan para remaja dalam percakapan sehari-hari (untuk percakapan situasi tidak resmi). Memang tidak semua remaja menggunakan bahasa gaul. Remaja yang menggunakan bahasa gaul pada umumnya adalah remaja yang ingin dianggap beken atau tenar di kalangan teman-temannya. Mereka menganggap berbahasa gaul adalah keren.
Bahasa gaul yang digunakan anak remaja ini sudah populer dan menjalar ke mana-mana. Anak-anak pun mengetahui gaya bahasa ini. Bagaimana jika para remaja tersebut menggunakan penulisan bahasa gaul dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah? Gurunya pasti tidak paham dan itu tidaklah sesuai dengan yang diajarkan di sekolah. Oleh karena itu, para remaja harus dapat menempatkan kapan dan dengan siapa mereka menggunakan bahasa gaul untuk berkomunikasi ataupun kapan mereka menggunakan bahasa gaul untuk menulis.
Penggunaan bahasa gaul dalam hal penulisan ataupun percakapan adalah tidak salah jika remaja tersebut menggunakan bahasa gaul pada saat situasi tidak resmi. Namun, yang perlu diingat adalah sebagai remaja, generasi penerus bangsa, mereka juga tidak boleh melupakan penggunaan ragam bahasa baku untuk dipakai dalam situasi resmi.

Bahasa Prokem Perburuk Bahasa Indonesia
Bahasa prokem yang biasa digunakan oleh kalangan remaja tertentu dikhawatirkan dapat memperburuk perkembangan bahasa Indonesia. ”Sebagai bahasa pergaulan, perkembangan bahasa prokem itu sangat pesat.  Hal ini dikhawatirkan justru memberikan pengaruh buruk terhadap bahasa Indonesia,” kata Kepala Balai Bahasa Provinsi Jatim Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) RI, Amir Mahmud, di Surabaya, Rabu.
Oleh sebab itu, dia minta para tenaga pendidik di sekolah untuk lebih mengintensifkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Memang harus diakui kualitas sumber daya manusia kita di bidang bahasa Indonesia masih minim. Hal ini yang perlu ditingkatkan,” katanya di sela-sela seminar internasional tentang Relasi Lokalitas-Globalitas Menuju Modernitas Bahasa dan Sastra Indonesia. Meskipun demikian, dia menganggap kehadiran bahasa prokem itu wajar karena sesuai dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakaiannya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi.
“Kami yakin, kalau sudah ke luar dari lingkungan kelompoknya itu, mereka akan beralih dan menggunakannya kembali bahasa lain yang berlaku secara umum,” kata Amir.
Ia menjelaskan, bahasa prokem itu konon berasal dari kalangan preman. Bahasa prokem itu digunakan sebagai sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama kurun tertentu.
Sarana komunikasi diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya.
Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. “Hal ini merupakan perilaku kebahasaan dan bersifat universal,” katanya menambahkan.
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya.
Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.


Data Pengamatan
Sering muncul keluhan di kalangan ahli bahasa, terutama pendidik, berkenaan dengan penggunaan bahasa di kalangan remaja. Para remaja berkecenderungan untuk "mencetak" bahasanya sendiri sebagai lambang suatu kelompok untuk mengisyaratkan kapribadian kelompok tersebut. Contoh percakapan di bawah ini, sedikit banyak menggambarkan penggunaan bahasa di kalangan remaja. 
A : hayoo.. kemana tadi  lo ga masuk kuliah ?
B : tadi pagi gue bangun kesiangan, gara-gara semaleman ngerjain tugas. 
A : trus sekarang kelar  tugas nya ?
B : udah sih, tapi kayaknya geje, soalnya ngerjainnya sambil nonton bokep, hehe..
A : Parah lo nonton film begituan, liat nih, tugas gue dah kelar, keren kan ?
B : ngga lah, bercanda men, ah.. narsis lo, bukannya bantuin gue kemaren..
A : cabut ke kantin yuk.. gue baru dikasih duku nih ma bokap, gue traktir lah..

         Percakapan di atas sulit dikenali maknanya, karena memang sama sekali bukan proses penyampaian pesan. Semua kata dapat dipahami namun susunannya sedemikian rupa hingga seolah tak bermakna. Dialog di atas tidak berisi apa-apa selain pengungkapan keakraban. la berlaku sebagai semacam passwords yang menandai hubungan intim antar teman. Contoh percakapan semacam itu, mudah ditemui baik dalam percakapan antar remaja, maupun dalam novel-novel pop yang memang ditujukan bagi para remaja.

Analisis Data
Bahasa prokem sebenarnya bisa disebut juga bahasa OK, karena sesudah huruf awal sebelum huruf vokal selalu disisipkan “ok” dan suku kata atau satu huruf akhir dihilangkan. Misalnya seperti ini:
Prokem (Preman)
Awalannya Pr-, disisipkan -ok-, dilanjutkan -em, -an dihilangkan.

Rokum
(Rumah)
Awalannya R-, disisipkan -ok-, dilanjutkan -um, -h dihilangkan.

Doku
(Duit)
Awalannya D-, disisipkan -ok-, dilanjutkan -u, -it dihilangkan.

Mokat (Mati)
Awalannya M-, disisipkan -ok-, dilanjutkan -at, -i dihilangkan.

Mokal (Malu)
Awalannya M-, disisipkan -ok-, dilanjutkan -al, -u dihilangkan.
Namun tidak selalu mengikuti aturan seperti contoh di atas, kadang malah menyimpang dari arti yang sebenarnya. Seperti contoh dibawah ini:

Rokar (Rokok)
Awalannya R-, disisipkan -ok-, -okok diganti -ar.

Sedokur (Saudara)
Awalannya Sed[Saud]-, disisipkan -ok-, -ara diganti -ur.
Atau pengembangan dari bahasa lain, seperti:

Bokep (BF=Blue Film atau film porno)
Awalannya B-, disisipkan -ok-, ditambah -ep [dialek dari konsonan "f"].
Ada juga yang malah membingungkan jika diartikan ke Bahasa Indonesia dengan menggunakan metode OK tadi. Ada kemungkinan kata itu diambil dari bahasa daerah.

KESIMPULAN

Bahasa prokem adalah penggunaan kata-kata dalam bahasa yang tidak resmi dan ekspresi yang bukan merupakan standar penuturan dialek atau bahasa. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya.
Bahasa Prokem sudah pernah populer digunakan dalam pergaulan anak muda Jakarta pada era tahun 80-an hingga awal 90-an. Penggunaan bahasa prokem ini merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Remaja memasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion, yaitu pencarian dan pembentukan identitas. Penggunaan bahasa prokem ini juga merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak.
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya.
Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.

 ___poer, 22 Okt 2014___


Minggu, 24 November 2013

mencintaimu ,,,



Ada kekasih yang membuktikan cintanya dengan jutaan kalimat pujian & rayuan, Ada pula dengan sikap yang penuh kasih,.. Tak sedikit dengan pengorbanan yg meluluhlantahkan harga diri, Ada pula dengan menguras tenaga materi.

Namun bagiku, aku mencintaimu dengan menundukkan wajahku padamu. Bukan karena aku ingin berpaling darimu, tapi karena aku ingin menjagamu

Aku mencintaimu dengan tidak melemahlembutkan suaraku padamu. Bukan karena aku ingin menyakitimu, namun karena aku ingin menjaga hatimu.

Aku mencintaimu dengan menjauh darimu, Bukan karena aku membencimu, namun karena aku ingin menjagamu dari khalwat yang menjebak..

Aku mencintaimu dengan menjaga dirimu, menjaga kesucianmu, menjaga kehormatanmu, menjaga kebeningan hatimu.

Tak mengapa saat ini kita jauh, karena kelak Allah yang akan menyatukan kita dalam ikatan suci-Nya. Sebab itu jauh lebih berarti dan lebih abadi, Karena ku yakin, janji Allah adalah pasti, “Wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik”, pun sebaliknya.

Ya, seperti inilah aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan menjaga kesucian diri, jiwa, & hatiku, hanya untuk ku persembahkan padamu kelak, siapapun dirimu nanti.

Oleh karena itu, tolong,.. Jagalah kesucian cintamu juga hanya untukku. Ya Robbi ,,, pada-Mu kutitipkan cintaku padanya.

Jumat, 22 November 2013

KTSP _ SD

ktsp_sd: "- Sent using Google Toolbar"

HAKIKAT BELAJAR

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya belajar itu ?

Hakikat Belajar

Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :

* Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
* Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
* Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
* Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”
* Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
* Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”

Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :

1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.

2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).

Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.

3. Perubahan yang fungsional.

Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.

4. Perubahan yang bersifat positif.

Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.

5. Perubahan yang bersifat aktif.

Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.

6. Perubahan yang bersifat pemanen.

Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.

7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.

Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.

Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.

Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :

1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.

Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :

1. Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
2. Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
3. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
4. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.
5. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
6. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
7. Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.
9. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya. (lihat tautan ini : Taksonomi Perilaku Menurut Bloom)

Aplikasi Dapodik 2013


KALDIK 2013

http://www.slideshare.net/purdiyanto
KALDIK 2013