Pendekatan yang disarankan dalam pembelajaran menulis meliputi pendekatan komunikatif, integratif, keterampilan proses, dan pendekatan tematis. Pendekatan komunikatif memfokuskan pada keterampilan siswa mengimplementasikan fungsi bahasa (untuk berkomunikasi) dalam pembelajaran. Pendekatan integratif menekankan keterpaduan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dalam pembelajaran. Pendekatan keterampilan proses memfokuskan keterampilan siswa dalam mengamati, mengklasifikasi, menginterpretasi, dan mengkomunikasikan. Pendekatan tematis menekankan tema pembelajaran sebagai payung/pemandu dalam pembelajaran.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa (1) pendekatan komunikatif tampak pada butir pembelajaran, misalnya: mendeskripsikan suatu benda, menulis surat, dan membuat iklan; (2) pendekatan integratif tampak pada butir pembelajaran, misalnya: menceritakan pengalaman yang menarik, menuliskan suatu peristiwa
sederhana, membaca bacaan kemudian membuat ikhtisar, dan meringkas cerita yang dtdengar; (3) Pendekatan keterampilan proses, tampak pada butir pembelajaran, misalnya: melaporkan hasil kunjungan, menyusun laporan pengamatan, membuat iklan, dan menyusun kaiimat acak menjadi paragraf yang padu; dan (4) pendekatan tematis, tampak pada butir pembelajaran, misatnya: menulis pengalaman dalam bentuk puisi, dan menyusun naskah sambutan.
Pendekatan-pendekatan tersebut pada hakikatnya mcmpunyai karaktenstik yang sama dengan pendekatan konstruktivisme, yaitu memandang siswa di dalam pembelajaran sebagai subjek pembelajaran bukan sebagat objek pembelajaran Dalam hal ini, peran guru sebagai motivator dan fasilitator di dalam membangkitkan potensi siswa dalam membangun/mengkonstruk gagasan/ide masmg-masing di dalam pembelajaran.
Teknik dan Model Pembelajaran Menulis Cerita
Berdasarkan butir-butir pembelajaran menulis di kelas tinggi (kelas 3-6) SD terdapat ragam teknik pembelajaran menulis. Teknik pembelajaran menulis dikelompokkan menjadi dua, yakni menulis cerita dan menulis untuk keperluan sehari-han
a) Menulis cerita
Teknik ini terdiri atas 6 macam, yaitu: I) menyusun kaiimat. Teknik menyusun cerita dapat dilakukan dengan: (a) menjawab pertanyaan, (b) melengkapai kalimat, (c) memperbaiki susunan kalimat, (d) memperluas kaiimat, (e) subtitusi, (f) transfomtasi, dan (g) membuat kaiimat; (2)Teknik memperkenalkan cerita: (a) baca dan tulis, (b) simak dan tulis; (3) meniru model; (4) menyusun paragaf; (5) menceritakan kembali; dan (6) membuat
b) Menulis untuk keperluan sehari-hari
Menulis untuk keperluan sehari-hari mehputi ragam menulis: (1) menulis surat, (2) menulis pengumuman, (3) mengisi formulir, (4) menulis surat undangan, (5) membuat iklan, dan (6) menyusun daftar riwayat hidup.
Model pembelajaran menulis cerita/cerpen di SD meliputi: menceritakan gambar, melanjutkan ceria lain, menceitakan mimpi, menceriakan pengalaman, dan menceritakan cita-cita.
(a) Menceritakan gambar Model ini dapat dilakukan mulai kelas 4 SD. Guru memperlihatkan beberapa gambar, selanjutnya, siswa diminta mengamati gambar tersebut dengan teliti. Kemudian, mereka diminta untuk menuliskannya ke dalam centa lengkap.
(b) Melanjutkan centa. Model ini diawaii dengan kegiatan guru membacakan atau memperdengarkan cerita yang dipilih guru, kemudian para siswa diminta melanjutkan cerita guru tersebut.
(c) Menceitakan mimpi. Model ini dilakukan dengan menugasi siswa untuk menceritakan mimpinya dengan menambah atau mengurangi isi dan mimpi mereka.
(d) Menceritakan pengalaman Model ini dilakukan dengan menugasi siswa untuk menceritakan pengalaman, baik pengalaman saat liburan, bermain,darmawisata, dan sebagainya.
(e) Menceritakan cita-cita. Model ini dilakukan dengan cara menugasi siswa untuk menceritakan cita-citanya setelah dewasa nanti.
Wadaslintang, 12 Juli 2010
Senin, 12 Juli 2010
Minggu, 11 Juli 2010
Sabtu, 10 Juli 2010
Sabtu, 03 Juli 2010
Hakikat Tujuan Pendidikan
Akhir-akhir ini, semakin banyak anak-anak kita yang terjerumus di dalam bahaya di dalam hidupnya. Tingkah lakunya sudah menyimpang dari tuntunan Agama Islam seperti mengkonsumsi narkoba, minuman keras, pergaualan bebas dan perbuatan lainnya menyerupai zaman jahiliyyah. Sesungguhnya agama adalah sumber perilaku manusia. Akal dan nafsu kita sama sekali tidak memadai sebagai landasan hidup. Bahkan akal dan nafsu seringkali menjerumuskan kehidupan manusia.
Tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah mengembalikan citra Allah di dalam jiwa manusia. Sebab dosa-dosa yang dilakukan manusia nyaris menghapuskan citra Allah dalam diri manusia. Dua tujuan penting pendidikan adalah :
Pertama, untuk mengembalikannya kepada kesempurnaan fitrah manusia. Adalah menjadi tugas para orangtua dan guru dalam pendidikan orang-orang muda untuk bekerjasama dalam mewujudkan citra Allah di muka bumi. Setiap kemampuan, bakat dan kekuatan yang dikaruniakan Allah kepada kita, harus digunakan untuk kemualiaanNya dan untuk meninggikan derajat manusia. Jangan sampai kehidupan manusia jatuh dalam jurang kehancuran.
Kalau saja prinsip ini mendapat perhatian, maka akan terdapat suatu perubahan besar di dalam beberapa metode pendidikan yang ada sekarang. Sebagai ganti dari kecenderungan kesombongan dan ambisi pribadi murid, para guru akan berupaya untuk membangkitkan kesukaan pada kebaikan, kebenaran dan keindahan. Murid tidak akan berusaha menyombongkan diri, melainkan mematuhi perintah Ilahi dan menerima teladan rasul-rasulNya. Sebagai ganti kecenderungan murid terhadap nafsu meninggikan diri yang merusak; para guru akan mengarahkan pikiran dan hati murid kepada Allah SWT.
Mengapa demikian ? Permulaan hikmat kebijaksanaan hidup adalah mengenal dan taqwa atau takut kepada Allah. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah, ayat 269 yang artinya :
"Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)."
Kedua, untuk mendapatkan pengetahuan dan membentuk tabi'at yang selaras dengan kehendak Ilahi, haruslah menjadi tujuan dari setiap pekerjaan pendidik baik orangtua maupun guru. Sebab segala perintah Allah adalah benar dan manusia memperoleh pengertian dari perintah-perintah Allah. Melalui serangkaian ilham dan kitab alam semesta kita harus meraih pengetahuan tentang Allah.
Oleh karena itu, kita harus waspada bahwa berdiam diri, tidak melarang dan tidak mendidik anak-anaknya dengan pendidikkan yang baik, besok di hari akhirat, bukan saja anak-anak yang melanggar tuntunan Islam yang akan mendapat siksa, namun juga orangtuanya. Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya manusia yang terberat siksanya di hari kiamat adalah orang yang menjadikan keluarganya bodoh atau tidak mengetahui syari'at Allah."
Dalam hadist yang lain Nabi bersabda :
"Barangsiapa yang meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan bodoh ( tidak mengetahui syari'at Allah) , maka seakan-akan ia menanggung dosa yang dikerjakan anak-anaknya."
Adapun sebagian dari cara mendidik kebaikan adalah orangtua harus berani memerintahkan anak-anaknya agar melaksanakan shalat lima waktu. Orangtua harus memperhatikan apakah anak-anaknya sudah melaksanakan shalat ataukah mereka melalaikannya.
Orangtua juga dapat memerintahkan anak-anaknya mengikuti shalat berjama'ah di mushalla atau masjid serta mengikuti pengajian agama. Sebab dengan sering mendengarkan pengajian agama, Allah akan memberi pertolongan berupa hidayah untuk mengamalkan ilmu agama. Dan Insya Allah kelak di akhirat, akan dimudahkan Allah jalan menuju syurga. Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu agama, maka Allah akan mempermudah baginya jalan menuju syurga."
Para alim ulama mengajarkan kepada kita bahwa barangsiapa yang tidak ngaji atau tidak kemasukan ilmu syari'at selama 40 hari berturut-turut, maka ia termasuk orang yang hatinya tertutup dan keras. Padahal orang-orang yang hatinya keras ini termasuk golongan yang akan masuk dalam neraka Well sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT surat Az Zumar, ayat 22 yang artinya :
"Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata."
Oleh karena itu usaha-usaha menuntut ilmu agama, pengajian-pengajian dan kegiatan keagamaan baik di dalam rumah, mushala maupun masjid, kita lakukan sungguh-sungguh agar keluarga kita, anak-anak kita, semakin bertambah ketaqwaan dan budi pekertinya.
Rasulullah SAW ditanya :
"Sebab apa banyak orang masuk syurga wahai Rasulullah ? Rasulullah SAW menjawab " taqwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik."
Keberhasilan yang nyata dalam pendidikan tergantung pada kesetiaan manusia dalam melaksanakan perintah Allah SWT.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah mengembalikan citra Allah di dalam jiwa manusia. Sebab dosa-dosa yang dilakukan manusia nyaris menghapuskan citra Allah dalam diri manusia. Dua tujuan penting pendidikan adalah :
Pertama, untuk mengembalikannya kepada kesempurnaan fitrah manusia. Adalah menjadi tugas para orangtua dan guru dalam pendidikan orang-orang muda untuk bekerjasama dalam mewujudkan citra Allah di muka bumi. Setiap kemampuan, bakat dan kekuatan yang dikaruniakan Allah kepada kita, harus digunakan untuk kemualiaanNya dan untuk meninggikan derajat manusia. Jangan sampai kehidupan manusia jatuh dalam jurang kehancuran.
Kalau saja prinsip ini mendapat perhatian, maka akan terdapat suatu perubahan besar di dalam beberapa metode pendidikan yang ada sekarang. Sebagai ganti dari kecenderungan kesombongan dan ambisi pribadi murid, para guru akan berupaya untuk membangkitkan kesukaan pada kebaikan, kebenaran dan keindahan. Murid tidak akan berusaha menyombongkan diri, melainkan mematuhi perintah Ilahi dan menerima teladan rasul-rasulNya. Sebagai ganti kecenderungan murid terhadap nafsu meninggikan diri yang merusak; para guru akan mengarahkan pikiran dan hati murid kepada Allah SWT.
Mengapa demikian ? Permulaan hikmat kebijaksanaan hidup adalah mengenal dan taqwa atau takut kepada Allah. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah, ayat 269 yang artinya :
"Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)."
Kedua, untuk mendapatkan pengetahuan dan membentuk tabi'at yang selaras dengan kehendak Ilahi, haruslah menjadi tujuan dari setiap pekerjaan pendidik baik orangtua maupun guru. Sebab segala perintah Allah adalah benar dan manusia memperoleh pengertian dari perintah-perintah Allah. Melalui serangkaian ilham dan kitab alam semesta kita harus meraih pengetahuan tentang Allah.
Oleh karena itu, kita harus waspada bahwa berdiam diri, tidak melarang dan tidak mendidik anak-anaknya dengan pendidikkan yang baik, besok di hari akhirat, bukan saja anak-anak yang melanggar tuntunan Islam yang akan mendapat siksa, namun juga orangtuanya. Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya manusia yang terberat siksanya di hari kiamat adalah orang yang menjadikan keluarganya bodoh atau tidak mengetahui syari'at Allah."
Dalam hadist yang lain Nabi bersabda :
"Barangsiapa yang meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan bodoh ( tidak mengetahui syari'at Allah) , maka seakan-akan ia menanggung dosa yang dikerjakan anak-anaknya."
Adapun sebagian dari cara mendidik kebaikan adalah orangtua harus berani memerintahkan anak-anaknya agar melaksanakan shalat lima waktu. Orangtua harus memperhatikan apakah anak-anaknya sudah melaksanakan shalat ataukah mereka melalaikannya.
Orangtua juga dapat memerintahkan anak-anaknya mengikuti shalat berjama'ah di mushalla atau masjid serta mengikuti pengajian agama. Sebab dengan sering mendengarkan pengajian agama, Allah akan memberi pertolongan berupa hidayah untuk mengamalkan ilmu agama. Dan Insya Allah kelak di akhirat, akan dimudahkan Allah jalan menuju syurga. Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu agama, maka Allah akan mempermudah baginya jalan menuju syurga."
Para alim ulama mengajarkan kepada kita bahwa barangsiapa yang tidak ngaji atau tidak kemasukan ilmu syari'at selama 40 hari berturut-turut, maka ia termasuk orang yang hatinya tertutup dan keras. Padahal orang-orang yang hatinya keras ini termasuk golongan yang akan masuk dalam neraka Well sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT surat Az Zumar, ayat 22 yang artinya :
"Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata."
Oleh karena itu usaha-usaha menuntut ilmu agama, pengajian-pengajian dan kegiatan keagamaan baik di dalam rumah, mushala maupun masjid, kita lakukan sungguh-sungguh agar keluarga kita, anak-anak kita, semakin bertambah ketaqwaan dan budi pekertinya.
Rasulullah SAW ditanya :
"Sebab apa banyak orang masuk syurga wahai Rasulullah ? Rasulullah SAW menjawab " taqwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik."
Keberhasilan yang nyata dalam pendidikan tergantung pada kesetiaan manusia dalam melaksanakan perintah Allah SWT.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Jumat, 02 Juli 2010
Peran Guru sebagai Motivator dalam KTSP
Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student oriented), maka peran guru dalam proses pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran guru sebagai motivator.
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk perilaku belajar siswa yang efektif.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka meningkatkan motivasi belajar siswa
1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
2. Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi belajar siswa. Oleh sebab itu, sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dulu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, para siswa pun seyogyanya dapat dilibatkan untuk bersama-sama merumuskan tujuan belajar beserta cara-cara untuk mencapainya.
2. Membangkitkan minat siswa.
Siswa akan terdorong untuk belajar manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Oleh sebab itu, mengembangkan minat belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membangkitkan minat belajar siswa, diantaranya :
• Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan siswa. Minat siswa akan tumbuh manakala ia dapat menangkap bahwa materi pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. Dengan demikian guru perlu enjelaskan keterkaitan materi pelajaran dengan kebutuhan siswa.
• Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan kemampuan siswa. Materi pelaaran yang terlalu sulit untuk dipelajari atau materi pelajaran yang jauh dari pengalaman siswa, akan tidak diminati oleh siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit tidak akan dapat diikuti dengan baik, yang dapat menimbulkan siswa akan gagal mencapai hasil yang optimal; dan kegagalan itu dapat membunuh minat siswa untuk belajar. Biasanya minat siswa akan tumbuh kalau ia mendapatkan kesuksesan dalam belajar.
• Gunakan berbagai model dan strategi pembelajaran secara bervariasi, misalnya diskusi, kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi, dan lain-lain.
3. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
Siswa hanya mungkin dapat belajar dengan baik manakala ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman, bebas dari rasa takut. Usahakan agar kelas selamanya dalam suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa tegang. Untuk itu guru sekali-sekali dapat melakukan hal-hal yang lucu.
4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
Motivasi akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai. Memberikanpujian yang wajar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan penghargaan. Pujian tidak selamanya harus dengan kata-kata. Pujian sebagain penghargaan dapat dilakukan dengan isyarat, misalnya senyuman dan anggukan yang wajar, atau mungkin dengan tatapan mata yang meyakinkan.
5. Berikan penilaian.
Banyak siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai bagus. Untuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai dapat menjadi motivasi yang kuat untuk belajar. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan segera agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya. Penilaian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing.
6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
Siswa butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan dengan memberikan komentar positif. Setelah siswa selesai mengerjakan suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya, misalnya dengan memberikan tulisan “bagus” atau “teruskan pekerjaanmu” dan lain sebagainya. Komentar yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
7. Ciptakan persaingan dan kerja sama.
Persaingan yang sehat dapat memberikan pengaruh yang baik untuk keberhasilan proses pembelajaran siswa. Melalui persaingan siswa dimungkinkan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik. Oleh sebab itu, guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bersaing baik antara kelompok maupun antar-individu. Namun demikian, diakui persaingan tidak selamanya menguntungkan, terutama untuk siswa yang memang dirasakan tidak mampu untuk bersaing, oleh sebab itu pendekatan cooperative learning dapat dipertimbangkan untuk menciptakan persaingan antarkelompok.
Di samping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar siswa di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.
Plunjaran, 3 JUli 2010
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk perilaku belajar siswa yang efektif.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka meningkatkan motivasi belajar siswa
1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
2. Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi belajar siswa. Oleh sebab itu, sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dulu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, para siswa pun seyogyanya dapat dilibatkan untuk bersama-sama merumuskan tujuan belajar beserta cara-cara untuk mencapainya.
2. Membangkitkan minat siswa.
Siswa akan terdorong untuk belajar manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Oleh sebab itu, mengembangkan minat belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membangkitkan minat belajar siswa, diantaranya :
• Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan siswa. Minat siswa akan tumbuh manakala ia dapat menangkap bahwa materi pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. Dengan demikian guru perlu enjelaskan keterkaitan materi pelajaran dengan kebutuhan siswa.
• Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan kemampuan siswa. Materi pelaaran yang terlalu sulit untuk dipelajari atau materi pelajaran yang jauh dari pengalaman siswa, akan tidak diminati oleh siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit tidak akan dapat diikuti dengan baik, yang dapat menimbulkan siswa akan gagal mencapai hasil yang optimal; dan kegagalan itu dapat membunuh minat siswa untuk belajar. Biasanya minat siswa akan tumbuh kalau ia mendapatkan kesuksesan dalam belajar.
• Gunakan berbagai model dan strategi pembelajaran secara bervariasi, misalnya diskusi, kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi, dan lain-lain.
3. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
Siswa hanya mungkin dapat belajar dengan baik manakala ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman, bebas dari rasa takut. Usahakan agar kelas selamanya dalam suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa tegang. Untuk itu guru sekali-sekali dapat melakukan hal-hal yang lucu.
4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
Motivasi akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai. Memberikanpujian yang wajar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan penghargaan. Pujian tidak selamanya harus dengan kata-kata. Pujian sebagain penghargaan dapat dilakukan dengan isyarat, misalnya senyuman dan anggukan yang wajar, atau mungkin dengan tatapan mata yang meyakinkan.
5. Berikan penilaian.
Banyak siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai bagus. Untuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai dapat menjadi motivasi yang kuat untuk belajar. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan segera agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya. Penilaian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing.
6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
Siswa butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan dengan memberikan komentar positif. Setelah siswa selesai mengerjakan suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya, misalnya dengan memberikan tulisan “bagus” atau “teruskan pekerjaanmu” dan lain sebagainya. Komentar yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
7. Ciptakan persaingan dan kerja sama.
Persaingan yang sehat dapat memberikan pengaruh yang baik untuk keberhasilan proses pembelajaran siswa. Melalui persaingan siswa dimungkinkan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik. Oleh sebab itu, guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bersaing baik antara kelompok maupun antar-individu. Namun demikian, diakui persaingan tidak selamanya menguntungkan, terutama untuk siswa yang memang dirasakan tidak mampu untuk bersaing, oleh sebab itu pendekatan cooperative learning dapat dipertimbangkan untuk menciptakan persaingan antarkelompok.
Di samping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar siswa di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.
Plunjaran, 3 JUli 2010
Jumat, 11 Juni 2010
Penilaian
Penilaian Mutlak Dilakukan Guru
Penilaian sangat penting dilakukan oleh guru, karena penilaian itu sendiri bertujuan untuk melihat sejauhmana siswa memahami materi yang sudah diajarkan oleh guru bilamana telah selesai menyajikan materi. Sejauhmana pula guru berhasil dalam suatu proses pembelajaran dan seberapa efektif keberhasilan siswanya dari rencana pengajaran yang disusun oleh guru. Pada akhirnya akan terlihat sejauhmana pula ketuntasan belajar (mastery of learning) guru dalam suatu proses pembelajaran.
Demikian pula dalam satu kali proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan penilaian atau penilaian.
Melalui penelaahan pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan atau sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar.
Guru dan fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, maka guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui penilaian ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Banyak guru dan khusus untuk mata pelajaran matematika hampir semua guru telah melaksanakan penilaian di akhir proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun hasil yang diperoleh kadang-kadang kurang memuaskan. Kadang-kadang hasil yang dicapai dibawah standar atau di bawah rata-rata.
Pada mata pelajaran yang lainnya kadang dilaksanakan pada akhir pelajaran, dan ada juga pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Kapan waktu pelaksanaan penilaian tersebut tidak menjadi masalah bagi guru yang penting dalam satu kali pertemuan ia telah melaksanakan penilaian terhadap siswa di kelas.
Tetapi ada juga guru yang enggan melaksanakan penilaian di akhir pelajaran, karena keterbatasan waktu, menurut mereka lebih baik menjelaskan semua materi pelajaran sampai tuntas untuk satu kali pertemuan, dan pada pertemuan berikutnya di awal pelajaran siswa diberi tugas atau soal-soal yang berhubungan dengan materi tersebut.
Ada juga guru yang berpendapat, bahwa penilaian di akhir pelajaran tidak mutlak dengan tes tertulis. Bisa juga dengan tes lisan atau tanya jawab. Kegiatan dirasakan lebih praktis bagi guru, karena guru tidak usah bersusah payah mengoreksi hasil penilaian anak.
Tetapi kegiatan ini mempunyai kelemahan yaitu anak yang suka gugup walaupun ia mengetahui jawaban dari soal tersebut, ia tidak bisa menjawab dengan tepat karena rasa gugupnya itu.
Dan kelemahan lain tes lisan terlalu banyak memakan waktu dan guru harus punya banyak persediaan soal. Tetapi ada juga guru yang mewakilkan beberapa orang anak yang pandai, anak yang kurang dan beberapa orang anak yang sedang kemampuannya utnuk menjawab beberapa pertanyaan atau soal yang berhubungan dengan materi pelajaran itu.
Cara mana yang akan digunakan oleh guru untuk penilaian tidak usah dipermasalahkan, yang jelas setiap guru yang paham dengan tujuan dan manfaat dari penilaian atau penilaian tersebut. Karena ada juga guru yang tidak menghiraukan tentang kegiatan ini, yang penting ia masuk kelas, mengajar, mau ia laksanakan penilaian di akhir pelajaran atau tidak itu urusannya. Yang jelas pada akhir semester ia telah mencapai target kurikulum.
Akhir-akhir ini kalau kita teliti di lapangan, banyak guru yang mengalami kegagalan dalam melaksanakan penilaian di akhir pelajaran. Hal ini tentu ada faktor penyebabnya dan apakah cara untuk mengatasinya. Atas dasar ini, faktor yang paling penting dalam penilaian itu bukan pada pemberian angka. Melainkan sebagai dasar feed back (catu balik). Catu balik itu sendiri sangat penting dalam rangka revisi. Sebab proses belajar mengajar itu kontinyu, karenanya perlu selalu melakukan penyempurnaan dalam rangkan mengoptimalkan pencapaian tujuan.
Bila penilaian merupakan catu balik sebagai dasar memperbaiki sistem pengajaran, sesungguhnya pelaksanaan penilaian harus bersifat kontinyu. Setiap kali dilaksanakan proses pangajaran, harus dilakukan penilaian (formatif). Sebaliknya bila penilaian hanya dilaksanakan di akhir suatu program (sumatif) catu balik tidak banyak berarti, sebab telah banyak proses terlampaui tanpa revisi.
Oleh karena itu, agar penilaian memberi manfaat yang besar terhadap sistem pengajaran hendaknya dilaksanakan setiap kali proses belajar mengajar untuk suatu topik tertentu. Namun demikian penilaian sumatif pun perlu dilaksanakan untuk pengembangan sistem yang lebih luas. Maka dari itu, kegiatan penilaian mutlak dilakukan oleh guru, dengan kontinuitas dilakukan akan dapat memberi gambaran terhadap keberhasilan guru dalam mengajar dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Judul: Guru Menuju Perubahan
Bila kita teringat sejarah dunia di mana pada saat Perang Dunia II, setelah Nagasaki dan Hiroshima di bom oleh sekutu, langkah pertama yang ditempuh pemerintah Jepang, mendata kembali berapa jumlah guru dan dokter yang tersisa. Mereka mulai membangun negara yang porak-poranda dari bidang pendidikan dan kesehatan.
Hasilnya sangat menakjubkan. Setelah kurang lebih 20 tahun, dengan kerja keras yang tak kenal lelah, Jepang mempu mensejajarkan negaranya dengan negara-negara maju lainnya. Lahirlah kekuatan baru di kawasan Asia saat itu. Untuk bidang pendidikan di kawasan Asia, Jepang juga sebagai negara terbaik, di samping India, Korea Selatan dan Singapura.
Kisah nyata itu menyadarkan kita, betapa besar peran guru dalam membangun suatu bangsa. Ironisnya, di negara kita tercinta, profesi guru dan peran guru, kurang diperhitungkan. Malah cenderung dikesampingkan. Pada masa rezim Orde Baru profesi guru malah identik dengan kemiskinan, dan ketidakberdayaan, kelompok masyarakat yang tahan lapar, dan selalu cicerca dan dipuja. Profesi guru tidak membanggakan. Guru adalah input pelarian dari anak orang miskin yang tidak berkecukupan, karena kehidupan yang jauh dari cukup sebuah keluarga, sehingga anaknya dimasukan ke sekolah guru. Potret Oemar Bakri seperti dikiaskan dalam sebuah lagu Iwan Fals yang jauh dari pantas.
Dalam masa itu, kelompok Guru tidak lebih dari sekedar alat politik dari rezim yang berkuasa. Guru tidak lebih sekedar alat politik dari rezim yang berkuasa. Untuk membius kelompok ini, regim berkuasa saat itu, menganugerahkan gelar ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dalam sebuah bait lagu.
Citra guru yang terbentuk di dalam dirinya sampai saat ini, menurut saya, bukanlah sosok berdasi, intelektual ulung dalam menyiapkan masa depan, tetapi sekedar sebagai pekerja penjual suara yang kerja kesehariannya berangkat subuh pulang malam, tetapi kering finansial. Praktis, citra guru teredusir sedemikian rupa di balik keagungan harapan yang meluap. Permasalahannya: bagaimana kita dapat membangun citra kita sendiri sebagai guru, agar peran dan profesionalitas kita terpenuhi?
UU Nomor 14 sudah disyahkan dan saat ini, apresiasi masyarakat semakin tinggi terhadap Guru, Pemerintah semakin sungguh-sungguh berupaya mensejahterakan Guru, media massa semakin gencar memberitakan tentang kinerja guru. Dari segi kemampuan ekonomis, guru tidak lagi dipandang sekedar sebagai pekerjaan yang tidak menjadi perhatian orang. Pergi pagi pulang petang pendapatan pas-pasan (P4).
Bagaimana dengan kita sendiri sebagai pelaku utama pendidikan, Penggerak pendidikan, Pemegang kendali pendidikan, Pencerdas anak bangsa, yang dalam UU Dosen dan Guru disebut tenaga profesional. Sama dengan dokter, Pengacara dan lain-lain?
Banyak pernyataan kritis sering kita dengar, kita lihat, dan kita baca menyangkut eksistensi, kompetensi, dan kinerja kita sebagai tenaga profesional memang masih memprihatinkan.
Kenyataan rendahnya kompetensi, etos kerja, dan kinerja guru, seperti dikemukakan oleh Fasli Djalal, peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan menyebutkan hampir separuh dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar di sekolah. 75.648 di antaranya guru SMA. Pernyataan itu disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional dan guru kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pernyataan yang merujuk pada rendahnya kompetensi dan etos kerja guru itu juga pernah diungkapkan oleh menteri pendidikan pada masa itu Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara di TPI tanggal 16 Agustus. Dalam wawancara itu Ia mengemukakan hanya 43 persen guru yang memenuhi syarat, artinya sebagian besar guru (57 persen) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional untuk melaksanakan tugasnya. Pantaslah kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan dunia kerja.
Judul: Mengapa Evaluasi?
Evaluasi di dalam dunia pendidikan khususnya dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan unsur penting yang harus diketahui oleh seorang guru. Evaluasi merupakan satu rangkaian dari suatu proses pembelajaran yang tidak boleh ditingalkan oleh guru, sehingga evaluasi dapat dijadikan indikator terhadap suatu keberhasilan suatu pembelajaran yang telah dilaksanakan guru.
Perwujudan pola pembelajaran dan pendidikan demokratis dapat dimulai dengan mengubah salah satu komponen penting pendidikan, yakni evaluasi. Evaluasi tidak cukup lagi hanya menagih daya ingat, tetapi harus juga menggali bagaimana anak berproses dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Demikian pandangan pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof Dr Anah Suhaenah, mengatakan bahwa pendidikan dan pembelajaran selama ini dinilai kurang demokratis. Peserta didik tidak diberi ruang untuk berimajinasi dan berkreasi. Peserta didik cenderung hanya menjadi obyek dan diposisikan tidak tahu apa-apa sehingga harus dijejali sesuai kemauan guru.
Selanjutnya Prof. Anah berpandangan, berbagai metode pembelajaran yang menekankan kreativitas dan kritis, seperti cara belajar siswa aktif atau problem base learning, sulit berhasil karena cara evaluasinya belum sesuai di lapangan. Selama ini anak cenderung ditagih daya ingatnya. Alhasil, guru pun sibuk memberikan berbagai masukan yang harus dihafalkan. Murid tidak pernah diajar untuk belajar, tetapi cenderung berlatih menjawab tes. Dalam suatu pembelajaran yang diperlukan adalah evaluasi untuk melihat bagaimana anak berproses. Tagihan tersebut terkait kreativitas, praktik, dan evaluasi menggunakan portofolio untuk melihat hasil kerja siswa, bukan yang diingat siswa.
“Kalau ingin anak-anak lebih kreatif, misalnya, tidak perlu soal pilihan ganda. Tes lebih ditekankan pada mengembangkan materi yang diterima di kelas. Berikan satu kata untuk dijadikan satu karangan atau satu bentuk untuk dijadikan gambar utuh. Intinya, membangun sesuatu dengan bahan terbatas dan eksplorasi,” katanya. Dia mengakui, perubahan model evaluasi tidak otomatis mengubah wajah pendidikan di dalam kelas, tetapi paling tidak akan sangat memengaruhi suasana pendidikan. Sebab, sistem evaluasi merupakan komponen penting dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Agar dapat mengevaluasi potensi anak didiknya dengan tepat, guru perlu dibebaskan dari beban yang terlalu berat. Selama ini, misalnya, satu guru mengajar 40 murid sehingga sukar berinteraksi dengan anak didiknya. Untuk itu, guru perlu diberikan otonomi dan tentunya dengan standardisasi.
Apa yang dikatakan oleh Prof Anah Suhaenah sejalan seperti dikatakan Kepala Pusat Penataran dan Pengembangan Guru Terpadu (P3GT) Bandung Abdorrakhman Gintings menambahkan, selama ini bukan tidak ada upaya agar suasana kelas lebih demokratis. Upaya yang dilakukan antara lain memberikan pelatihan berbagai metode pembelajaran kepada guru sehingga nantinya pola kekuasaan di kelas juga berubah.
Untuk penataran guru, misalnya, saat ini diadakan apa yang disebut PAKEM atau pendidikan, aktif, kreatif, dan menyenangkan. Yang diajarkan adalah metodologi mengajar interaktif dan menyenangkan. Banyak teori yang dicurahkan kepada para guru, tetapi setelah selesai pelatihan dan guru ingin menerapkannya di sekolah, justru dianggap keluar jalur.
. Dia memandang perlu gerakan massal dan intensif tentang demokratisasi dalam pendidikan, mulai dari guru, sekolah, hingga instansi pemerintah terkait. Hal itu dapat dimulai dengan teladan perilaku para pemimpin, Sebaik apa pun metodologi yang digunakan, kalau kita tak siap akan sisa-sia.
Oleh karena itu, pendidikan yang demokratis itu salah satunya mendasarkan pada faham humanisme. Secara umum, humanisme terkait dengan kebebasan dan otonomi. Prinsip-prinsip para humanis menekankan pentingnya kebutuhan manusia secara individual. Individu memiliki dorongan terhadap aktualisasi diri dan tanggung jawab pada diri sendiri maupun orang lain.
Penilaian sangat penting dilakukan oleh guru, karena penilaian itu sendiri bertujuan untuk melihat sejauhmana siswa memahami materi yang sudah diajarkan oleh guru bilamana telah selesai menyajikan materi. Sejauhmana pula guru berhasil dalam suatu proses pembelajaran dan seberapa efektif keberhasilan siswanya dari rencana pengajaran yang disusun oleh guru. Pada akhirnya akan terlihat sejauhmana pula ketuntasan belajar (mastery of learning) guru dalam suatu proses pembelajaran.
Demikian pula dalam satu kali proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan penilaian atau penilaian.
Melalui penelaahan pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan atau sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar.
Guru dan fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, maka guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui penilaian ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Banyak guru dan khusus untuk mata pelajaran matematika hampir semua guru telah melaksanakan penilaian di akhir proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun hasil yang diperoleh kadang-kadang kurang memuaskan. Kadang-kadang hasil yang dicapai dibawah standar atau di bawah rata-rata.
Pada mata pelajaran yang lainnya kadang dilaksanakan pada akhir pelajaran, dan ada juga pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Kapan waktu pelaksanaan penilaian tersebut tidak menjadi masalah bagi guru yang penting dalam satu kali pertemuan ia telah melaksanakan penilaian terhadap siswa di kelas.
Tetapi ada juga guru yang enggan melaksanakan penilaian di akhir pelajaran, karena keterbatasan waktu, menurut mereka lebih baik menjelaskan semua materi pelajaran sampai tuntas untuk satu kali pertemuan, dan pada pertemuan berikutnya di awal pelajaran siswa diberi tugas atau soal-soal yang berhubungan dengan materi tersebut.
Ada juga guru yang berpendapat, bahwa penilaian di akhir pelajaran tidak mutlak dengan tes tertulis. Bisa juga dengan tes lisan atau tanya jawab. Kegiatan dirasakan lebih praktis bagi guru, karena guru tidak usah bersusah payah mengoreksi hasil penilaian anak.
Tetapi kegiatan ini mempunyai kelemahan yaitu anak yang suka gugup walaupun ia mengetahui jawaban dari soal tersebut, ia tidak bisa menjawab dengan tepat karena rasa gugupnya itu.
Dan kelemahan lain tes lisan terlalu banyak memakan waktu dan guru harus punya banyak persediaan soal. Tetapi ada juga guru yang mewakilkan beberapa orang anak yang pandai, anak yang kurang dan beberapa orang anak yang sedang kemampuannya utnuk menjawab beberapa pertanyaan atau soal yang berhubungan dengan materi pelajaran itu.
Cara mana yang akan digunakan oleh guru untuk penilaian tidak usah dipermasalahkan, yang jelas setiap guru yang paham dengan tujuan dan manfaat dari penilaian atau penilaian tersebut. Karena ada juga guru yang tidak menghiraukan tentang kegiatan ini, yang penting ia masuk kelas, mengajar, mau ia laksanakan penilaian di akhir pelajaran atau tidak itu urusannya. Yang jelas pada akhir semester ia telah mencapai target kurikulum.
Akhir-akhir ini kalau kita teliti di lapangan, banyak guru yang mengalami kegagalan dalam melaksanakan penilaian di akhir pelajaran. Hal ini tentu ada faktor penyebabnya dan apakah cara untuk mengatasinya. Atas dasar ini, faktor yang paling penting dalam penilaian itu bukan pada pemberian angka. Melainkan sebagai dasar feed back (catu balik). Catu balik itu sendiri sangat penting dalam rangka revisi. Sebab proses belajar mengajar itu kontinyu, karenanya perlu selalu melakukan penyempurnaan dalam rangkan mengoptimalkan pencapaian tujuan.
Bila penilaian merupakan catu balik sebagai dasar memperbaiki sistem pengajaran, sesungguhnya pelaksanaan penilaian harus bersifat kontinyu. Setiap kali dilaksanakan proses pangajaran, harus dilakukan penilaian (formatif). Sebaliknya bila penilaian hanya dilaksanakan di akhir suatu program (sumatif) catu balik tidak banyak berarti, sebab telah banyak proses terlampaui tanpa revisi.
Oleh karena itu, agar penilaian memberi manfaat yang besar terhadap sistem pengajaran hendaknya dilaksanakan setiap kali proses belajar mengajar untuk suatu topik tertentu. Namun demikian penilaian sumatif pun perlu dilaksanakan untuk pengembangan sistem yang lebih luas. Maka dari itu, kegiatan penilaian mutlak dilakukan oleh guru, dengan kontinuitas dilakukan akan dapat memberi gambaran terhadap keberhasilan guru dalam mengajar dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Judul: Guru Menuju Perubahan
Bila kita teringat sejarah dunia di mana pada saat Perang Dunia II, setelah Nagasaki dan Hiroshima di bom oleh sekutu, langkah pertama yang ditempuh pemerintah Jepang, mendata kembali berapa jumlah guru dan dokter yang tersisa. Mereka mulai membangun negara yang porak-poranda dari bidang pendidikan dan kesehatan.
Hasilnya sangat menakjubkan. Setelah kurang lebih 20 tahun, dengan kerja keras yang tak kenal lelah, Jepang mempu mensejajarkan negaranya dengan negara-negara maju lainnya. Lahirlah kekuatan baru di kawasan Asia saat itu. Untuk bidang pendidikan di kawasan Asia, Jepang juga sebagai negara terbaik, di samping India, Korea Selatan dan Singapura.
Kisah nyata itu menyadarkan kita, betapa besar peran guru dalam membangun suatu bangsa. Ironisnya, di negara kita tercinta, profesi guru dan peran guru, kurang diperhitungkan. Malah cenderung dikesampingkan. Pada masa rezim Orde Baru profesi guru malah identik dengan kemiskinan, dan ketidakberdayaan, kelompok masyarakat yang tahan lapar, dan selalu cicerca dan dipuja. Profesi guru tidak membanggakan. Guru adalah input pelarian dari anak orang miskin yang tidak berkecukupan, karena kehidupan yang jauh dari cukup sebuah keluarga, sehingga anaknya dimasukan ke sekolah guru. Potret Oemar Bakri seperti dikiaskan dalam sebuah lagu Iwan Fals yang jauh dari pantas.
Dalam masa itu, kelompok Guru tidak lebih dari sekedar alat politik dari rezim yang berkuasa. Guru tidak lebih sekedar alat politik dari rezim yang berkuasa. Untuk membius kelompok ini, regim berkuasa saat itu, menganugerahkan gelar ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dalam sebuah bait lagu.
Citra guru yang terbentuk di dalam dirinya sampai saat ini, menurut saya, bukanlah sosok berdasi, intelektual ulung dalam menyiapkan masa depan, tetapi sekedar sebagai pekerja penjual suara yang kerja kesehariannya berangkat subuh pulang malam, tetapi kering finansial. Praktis, citra guru teredusir sedemikian rupa di balik keagungan harapan yang meluap. Permasalahannya: bagaimana kita dapat membangun citra kita sendiri sebagai guru, agar peran dan profesionalitas kita terpenuhi?
UU Nomor 14 sudah disyahkan dan saat ini, apresiasi masyarakat semakin tinggi terhadap Guru, Pemerintah semakin sungguh-sungguh berupaya mensejahterakan Guru, media massa semakin gencar memberitakan tentang kinerja guru. Dari segi kemampuan ekonomis, guru tidak lagi dipandang sekedar sebagai pekerjaan yang tidak menjadi perhatian orang. Pergi pagi pulang petang pendapatan pas-pasan (P4).
Bagaimana dengan kita sendiri sebagai pelaku utama pendidikan, Penggerak pendidikan, Pemegang kendali pendidikan, Pencerdas anak bangsa, yang dalam UU Dosen dan Guru disebut tenaga profesional. Sama dengan dokter, Pengacara dan lain-lain?
Banyak pernyataan kritis sering kita dengar, kita lihat, dan kita baca menyangkut eksistensi, kompetensi, dan kinerja kita sebagai tenaga profesional memang masih memprihatinkan.
Kenyataan rendahnya kompetensi, etos kerja, dan kinerja guru, seperti dikemukakan oleh Fasli Djalal, peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan menyebutkan hampir separuh dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar di sekolah. 75.648 di antaranya guru SMA. Pernyataan itu disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional dan guru kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pernyataan yang merujuk pada rendahnya kompetensi dan etos kerja guru itu juga pernah diungkapkan oleh menteri pendidikan pada masa itu Wardiman Djoyonegoro dalam wawancara di TPI tanggal 16 Agustus. Dalam wawancara itu Ia mengemukakan hanya 43 persen guru yang memenuhi syarat, artinya sebagian besar guru (57 persen) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional untuk melaksanakan tugasnya. Pantaslah kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan dunia kerja.
Judul: Mengapa Evaluasi?
Evaluasi di dalam dunia pendidikan khususnya dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan unsur penting yang harus diketahui oleh seorang guru. Evaluasi merupakan satu rangkaian dari suatu proses pembelajaran yang tidak boleh ditingalkan oleh guru, sehingga evaluasi dapat dijadikan indikator terhadap suatu keberhasilan suatu pembelajaran yang telah dilaksanakan guru.
Perwujudan pola pembelajaran dan pendidikan demokratis dapat dimulai dengan mengubah salah satu komponen penting pendidikan, yakni evaluasi. Evaluasi tidak cukup lagi hanya menagih daya ingat, tetapi harus juga menggali bagaimana anak berproses dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Demikian pandangan pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof Dr Anah Suhaenah, mengatakan bahwa pendidikan dan pembelajaran selama ini dinilai kurang demokratis. Peserta didik tidak diberi ruang untuk berimajinasi dan berkreasi. Peserta didik cenderung hanya menjadi obyek dan diposisikan tidak tahu apa-apa sehingga harus dijejali sesuai kemauan guru.
Selanjutnya Prof. Anah berpandangan, berbagai metode pembelajaran yang menekankan kreativitas dan kritis, seperti cara belajar siswa aktif atau problem base learning, sulit berhasil karena cara evaluasinya belum sesuai di lapangan. Selama ini anak cenderung ditagih daya ingatnya. Alhasil, guru pun sibuk memberikan berbagai masukan yang harus dihafalkan. Murid tidak pernah diajar untuk belajar, tetapi cenderung berlatih menjawab tes. Dalam suatu pembelajaran yang diperlukan adalah evaluasi untuk melihat bagaimana anak berproses. Tagihan tersebut terkait kreativitas, praktik, dan evaluasi menggunakan portofolio untuk melihat hasil kerja siswa, bukan yang diingat siswa.
“Kalau ingin anak-anak lebih kreatif, misalnya, tidak perlu soal pilihan ganda. Tes lebih ditekankan pada mengembangkan materi yang diterima di kelas. Berikan satu kata untuk dijadikan satu karangan atau satu bentuk untuk dijadikan gambar utuh. Intinya, membangun sesuatu dengan bahan terbatas dan eksplorasi,” katanya. Dia mengakui, perubahan model evaluasi tidak otomatis mengubah wajah pendidikan di dalam kelas, tetapi paling tidak akan sangat memengaruhi suasana pendidikan. Sebab, sistem evaluasi merupakan komponen penting dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Agar dapat mengevaluasi potensi anak didiknya dengan tepat, guru perlu dibebaskan dari beban yang terlalu berat. Selama ini, misalnya, satu guru mengajar 40 murid sehingga sukar berinteraksi dengan anak didiknya. Untuk itu, guru perlu diberikan otonomi dan tentunya dengan standardisasi.
Apa yang dikatakan oleh Prof Anah Suhaenah sejalan seperti dikatakan Kepala Pusat Penataran dan Pengembangan Guru Terpadu (P3GT) Bandung Abdorrakhman Gintings menambahkan, selama ini bukan tidak ada upaya agar suasana kelas lebih demokratis. Upaya yang dilakukan antara lain memberikan pelatihan berbagai metode pembelajaran kepada guru sehingga nantinya pola kekuasaan di kelas juga berubah.
Untuk penataran guru, misalnya, saat ini diadakan apa yang disebut PAKEM atau pendidikan, aktif, kreatif, dan menyenangkan. Yang diajarkan adalah metodologi mengajar interaktif dan menyenangkan. Banyak teori yang dicurahkan kepada para guru, tetapi setelah selesai pelatihan dan guru ingin menerapkannya di sekolah, justru dianggap keluar jalur.
. Dia memandang perlu gerakan massal dan intensif tentang demokratisasi dalam pendidikan, mulai dari guru, sekolah, hingga instansi pemerintah terkait. Hal itu dapat dimulai dengan teladan perilaku para pemimpin, Sebaik apa pun metodologi yang digunakan, kalau kita tak siap akan sisa-sia.
Oleh karena itu, pendidikan yang demokratis itu salah satunya mendasarkan pada faham humanisme. Secara umum, humanisme terkait dengan kebebasan dan otonomi. Prinsip-prinsip para humanis menekankan pentingnya kebutuhan manusia secara individual. Individu memiliki dorongan terhadap aktualisasi diri dan tanggung jawab pada diri sendiri maupun orang lain.
Senin, 31 Mei 2010
Langganan:
Postingan (Atom)